Nasional

Pengamat: Rektorat UI Bikin Kampus Jadi Petugas Politik

Gedung Rektorat Universitas Indonesia.

GILANGNEWS.COM - Aksi kritik Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) bertajuk Jokowi The King Of Lip Service di media sosial berbuntut panjang. Pihak kampus mempermasalahkan dan melakukan pemanggilan terhadap sejumlah mahasiswa. BEM UI menolak menghapus unggahan tersebut.

Kasus bermula saat keresahan BEM UI dituangkan lewat unggahan mereka di media sosial Twitter, Sabtu (26/5). Unggahan menampilkan foto Jokowi berdiri di sebuah mimbar, mengenakan tahta raja, dan latar belakangan bibir, disertai keterangan King of Lip Service.

Pemanggilan terhadap BEM dilayangkan rektorat lewat surat nomor: 915/UN2.RI.KMHS/PDP.00.04.00/2021 yang bersifat penting dan segera. Pertemuan dilakukan di ruang rapat Ditmawa lantai 1, Minggu (27/6) pukul 15.00 WIB. Aksi Rektorat UI jadi sorotan. Bukan saja dinilai tak tepat, namun juga berlebihan.

Pengamat sosial dan politik, Ray Rangkuti berpendapat ada relasi kuasa dalam bahasan pemanggilan oleh rektorat UI tersebut. Pemanggilan tersebut menihilkan suasana berdiskusi atau dialog. Kampus, kata dia, mestinya berfungsi menyuburkan kebebasan berpendapat, menumbuhkan kritisisme, dan alur berpikir yang rasional.

Dia mengibaratkan rektorat UI mirip petugas politik.

"Jadi, pemanggilan itu seperti menjadikan kampus petugas politik dibandingkan petugas bagi terjaminnya kebebasan berpendapat. Tentu hal ini disayangkan," kata Ray kepada kepada wartawan, Selasa (28/6).

Sebelumnya, kepala Humas dan KIP UI, Amelita Lusia menjelaskan bahwa pihak UI sangat menghargai kebebasan menyampaikan pendapat. Namun, pendapat tersebut mestinya disampaikan sesuai aturan yang ada.

"Menjawab pertanyaan yang diajukan rekan-rekan media, yang bermula dari postingan BEM UI di sosial media kemarin sore sekitar jam 6 sore, perlu kami sampaikan bahwa kebebasan menyampaikan pendapat dan aspirasi memang dilindungi undang-undang. Meskipun demikian dalam menyampaikan pendapat, seyogyanya harus menaati dan sesuai koridor hukum yang berlaku," kata Amelita kepada wartawan, Minggu (27/7/2021).

Praktisi pendidikan, Asep Sapa'at mendorong pembahasan yang lebih substansial, ketimbang mengedepankan suasana yang penuh ancaman. Dia mendukung sikap rektorat, dalam konteks pengembangan nalar dan argumentasi logis dari kritik mereka.

"Menguak pikiran dan perasaan terdalam para mahasiswa UI atas sikap kritisnya kepada presiden RI lebih menarik ketimbang menempatkan kasus ini sebagai sesuatu yang berbau politis," ujar Asep kepada media, Selasa (29/6).

Mirip Rezim Orba

Pemerhati sosial politik dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedilah Badrun berpendapat keputusan pihak rektorat dengan memanggil mahasiswa buntut kritik terhadap presiden lebih mudah dimaknai sebagai intervensi.

Ubed menengarai, bisa saja pihak rektorat ditegur Istana, atau pemanggilan itu atas inisiatif mereka sendiri karena khawatir ditegur Istana. Menurut dia, pola semacam itu mirip dengan beberapa saat sebelum kejatuhan pemerintahan Orde Baru.

Ubed mengaku pola-pola pemanggilan atau intervensi semacam itu justru akan membuat kampus kehilangan budaya untuk menumbuhkan kritisisme dan kreativitas mahasiswa. Sebab, menurut dia, kritisisme esensinya merupakan upaya untuk menumbuhkan kreativitas mahasiswa.

"Intervensi kampus membungkam sikap kritis mahasiswa karena elite kampus dengan mudah dikendalikan oleh kekuasaan melalui mekanisme pemilihan rektor," kata dia kepada media, Selasa (29/6).

Sebagai akademisi, Ubed meyakini kritik BEM UI telah berbasis data. Menurut dia, terlalu banyak data untuk membuktikan, Jokowi dengan kata-katanya hanya sekadar pemanis bibir. Banyak janji Jokowi kata Ubed yang justru terjadi sebaliknya, mulai dari penguatan KPK hingga pemulihan ekonomi.

"Terkait BEM UI yang menyebut Jokowi sebagai The king of Lip Service itu tentu bukan kesimpulan sembarangan tetapi kesimpulan yang pasti menggunakan scientific approach, berbasis pada data yang kuat," kata dia.


Tulis Komentar