Nasional

KNKT: Lion Air yang Jatuh Bermasalah, Luput dari Pemeriksaan

Ilustrasi.

GILANGNEWS.COM - Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) mengungkap pilot penerbangan Pesawat Lion Air JT 610 rute Jakarta-Pangkal Pinang kesulitan merespons fitur baru pada Pesawat Boeing 737 Max 8. Akibatnya pesawat dengan registrasi PK-LQP itu jatuh di Perairan Tanjung Karawang, Jawa Barat.

Insiden naas pada 29 Oktober 2018 silam itu menewaskan 189 penumpang serta awak kapal.

Pesawat jenis tersebut mengalami masalah serupa pada penerbangan sehari sebelumnya untuk rute Denpasar-Jakarta.

Namun Kepala Subkomite Kecelakaan Penerbangan KNKT Nurcahyo Utomo mengungkapkan, investigasi lembaganya menemukan terdapat respons berbeda dari awak pesawat masing-masing kejadian.

"Kalau yang Denpasar-Jakarta itu mereka menyelesaikan satu per satu, saat pilot melihat co-pilotnya tidak bisa menyelesaikan, maka kaptennya menunda dulu pekerjaannya dan melihat kondisi faktual. Begitu pesawat terkendali, baru dia baca bukunya lagi," ungkap Nurcahyo di Kantor KNKT, Jakarta Pusat, Jumat (25/10).

Perjalanan Denpasar-Jakarta itupun selamat meski dengan permasalahan penerbangan. Sedangkan sehari setelahnya problem serupa terulang, tapi naas, awak penerbangan Jakarta-Pangkal Pinang dianggap tak mampu mengatasi dengan tepat.

"Kedua pilot mengerjakan pekerjaan masing-masing, yang satu terbang dan yang satu membaca prosedur. Yang akhirnya kami simpulkan tidak terjadi komunikasi karena mereka sibuk masing-masing; yang menerbangkan dia menemukan kondisi yang sulit sekali, yang sedang baca dia juga harus membaca banyak sekali," terang Nurcahyo.

Kondisi tersebut diperburuk karena ketiadaan petunjuk dalam buku panduan maupun pelatihan ketika terjadi MCAS. Alhasil menyulitkan pilot karena tak mengenali gejala dan sebab saat sistem MCAS aktif.

MCAS atau Maneuvering Characteristics Augmentation System adalah fitur baru Boeing 737 Max 8 yang diperlukan lantaran mesin pesawat ini lebih besar. Sehingga perlu sistem otomatis yang mampu menyeimbangkan posisi badan pesawat.

"Pilotnya juga tidak dikasih tahu pesawat ini memiliki MCAS, kalau dikasih tahu maka akhirnya juga akan berbeda," kata Nurcahyo ditemui usai konferensi pers.

Sensor MCAS tersebut akan aktif ketika ada ketidakseimbangan pada indikator kecepatan dan ketinggian pesawat.

"Namun kami menemukan dengan MCAS yang mengandalkan single sensor ini, rentan gangguan. Karena sensor ini bisa saja rusak bisa saja mengalami masalah lain, jadi kalau mengandalkan satu sensor ini rentan muncul masalah," kata Nurcahyo.

Mesin bermasalah, pemeriksaan tak optimal

Temuan investigasi juga mendapati desain dan sertifikasi fitur itu rupanya tidak memadai.

Padatnya komunikasi antara pilot dengan ATC ditambah berulangnya sinyal aktifasi MCAS memperburuk kondisi kala itu. Akibatnya berdampak pada kesulitan awak mengendalikan pesawat.

"Karena situasinya memang sulit saat itu, kemudian ada hal-hal mengenai kemampuan menerbangkan pesawat secara manual, kemampuan melakukan prosedur non-normal, komunikasi antar-pilot berdampak pada kerja sama juga beban kerja yang kurang baik," jelas Nurcahyo.

"Kami melihat performance ini pernah ditemukan pada pelatihan di kedua pilot ini, yang kemudian di kecelakaan muncul kembali," tambah dia lagi.

Berdasar investigasi KNKT, tindakan pilot pada penerbangan sebelumnya juga turut andil dalam kegagapan pengambilan langkah pilot JT 610 yang jatuh di Perairan Tanjung Karawang.

"Pada penerbangan dari Denpasar ke Jakarta, pilotnya melaporkan semua masalah penerbangan, tapi ada beberapa yang tidak dilaporkan seperti aktifnya stick shaker dan penggunaan prosedur non-normal Runaway Stabilizer pesawat," ungkap Nurcahyo.

Itu sebabnya lanjut Nurcahyo, pilot penerbangan setelahnya - yakni tujuan Jakarta menuju Pangkal Pinang, tak mampu mengambil tindakan yang tepat. Selain itu teknisi di Jakarta pun tak optimal dalam melakukan perbaikan.

Sejumlah rekomendasi dilayangkan ke tujuh pihak di antaranya Lion Air, Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan, Federal Aviation Administration (FAA) dan Boeing.

Salah satu rekomendasi untuk Boeing menyoal akurasi asumsi serta assessment desain pesawat. Sementara rekomendasi ke FAA berupa perubahan regulasi mengenai desain sertifikasi juga standar panduan.

"Jadi apa informasi yang sebaiknya ada. Karena sebelumnya kalau fitur itu punya sistem otomatis maka tidak perlu ada informasi di panduan, tapi dengan insiden ini mungkin perlu dipertimbangkan ulang" jelas Nurcahyo.

Saat ini ada sembilan negara termasuk Indonesia tengah mengkaji apakah pesawat Boeing 737 Max 8 ini bisa terbang kembali. Negara lain yang menyetop sementara operasional pesawat jenis ini di antaranya Brazil, Kanada, Cina dan Singapura.

"Salah satu yang ditunggu dan jadi acuan laporan Indonesia ini. Mereka mau menentukan kapan Max ini bisa diterbangkan lagi. Jadi kalaupun Max ini mau terbang lagi apa yang harus dilakukan selanjutnya," pungkas Nurcahyo.


Tulis Komentar