Nasional

KPAI Ungkap Kabar Terbaru 3 Siswa Penganut Saksi Yehuwa Tak Naik Kelas 3 Kali

Komisioner KPAI Retno Listyarti.

GILANGNEWS.COM - KPAI mengungkap kabar terkini terkait kasus 3 siswa kakak beradik menganut Saksi-saksi Yehuwa di Tarakan, Kalimantan Utara yang 3 kali tidak naik kelas. Seperti apa?

Komisioner KPAI Retno Listyarti mengatakan tim gabungan yang terdiri atas Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Itjen KemendikbudRistek), KPAI, dan unsur masyarakat sipil, telah memantau ke Tarakan terkait kasus ini.

Berikut temuannya:

Temuannya adalah ketiga siswa merupakan peserta didik di SDN 051 Kota Tarakan, Kalimantan Utara. Mereka merupakan kakak beradik bernama M (14 tahun) kelas 5 SD; Y (13 tahun) kelas 4 SD; dan YT (11 tahun) kelas 2 SD. Mereka tidak naik kelas pada tahun ajaran 2018/2019; lalu tahun ajaran 2019/2020; dan tahun ajaran 2020/2021.

Itjen KemendikbudRistek pun membentuk tim gabungan untuk memantau langsung ke Tarakan dan mencari solusi. Pada hari pertama, tim berkunjung ke rumah orangtua ketiga anak tersebut untuk mendengarkan suara anak.

Selanjutnya pada hari kedua, tim melakukan pengawasan ke sekolah (pihak teradu) untuk meminta klarifikasi maupun konfirmasi atas informasi yang tim terima dari pihak pengadu. Sedangkan pada hari ketiga, tim melakukan FGD atau bisa juga disebut Rapat Koordinasi di kantor Walikota Tarakan untuk menyampaikan hasil temuan tim sekaligus mencari solusi bagi kepentingan terbaik bagi anak.

"Sayangnya, dalam FGD tersebut, solusi yang muncul dari beberapa SKPD justru belum berpihak pada kepentingan terbaik bagi anak," ujar Retno Listyarti, Sabtu (27/11/2021).

Retno mengatakan SKPD patut diapresiasi karena berpihak pada kepetingan anak dan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Kota Tarakan, ternyata telah melakukan pendampingan psikologis ketiga anak korban dan orang tuanya.

Saat ini ketiga anak tersebut sudah mendapatkan terapi psikologi sebanyak 4 kali dari psikolog Himpsi Tarakan yang bekerja sama dengan Dinas PPPA. Selama ini, anak-anak selalu diantar jemput oleh Dinas PPPA saat harus menjalani sesi terapi psikologi.

Sebab 3 Anak Tak Naik Kelas 3 Tahun Berturut

Retno memaparkan dari informasi yang diterima tim pemantau, ketiga anak korban pindah agama pada tahun 2018 dari Kristen Protestan ke Saksi Yehuwa. Secara kebetulan, tidak naik kelas pertama adalah pada tahun ajaran 2018/2019, ketiga anak sempat dikeluarkan dari sekolah selama sekitar 3 bulan lamanya. Alasan tidak naik pertama adalah absensi tidak memenuhi syarat, ada sekitar 90 hari ketiga anak dianggap tidak hadir tanpa keterangan, padahal ketidakhadiran mereka karena sempat dikeluarkan dari sekolah selama 3 bulan.

"Keputusan Pengadilan TUN memenangkan gugatan atas nama ketiga anak tersebut, keputusan PTUN dalam kasus tidak naik kelas yang pertama kali ini sudah inkracht," ungkap Retno.

Kemudian pada tahun ajaran 2019/2020 ketiganya kembali dinyatakan tidak naik kelas. Adapun penyebab tidak naik kelas yang kedua, karena nilai agama ketiga anak nol atau tidak ada nilainya, hal ini disebabkan karena ketiganya tidak mendapatkan pelajaran agama, sekolah beralasan tidak ada guru agama untuk Saksi Yehuwa, padahal Saksi Yehuwa oleh Kementerian Agama dimasukan dalam bagian pendidikan agama Kristen. Jadi seharusnya, ketiga anak berhak mendapatkan pendidikan agama Kristen di sekolahnya.

"Keputusan Pengadilan TUN pada tingkat pertama dimenangkan oleh ketiga anak tersebut, namun Dinas Pendidikan Kota Tarakan banding dan memenangkan pengadilan banding. Pihak penggugat kemudian melakukan kasasi dan keputusan kasasi belum ada. Artinya belum inkracht hingga November 2021," papar Retno.

Adapun kasus tidak naik kelas yang ketiga kalinya terjadi pada tahun ajaran 2020/2021, kali ini penyebab ketiga anak tidak naik kelas adalah nilai agama yang tidak tuntas, sementara nilai seluruh mata pelajaran yang lain sangat bagus.

Temuan tim gabungan, ketiga anak mengaku mengikuti semua proses pembelajaran pendidikan agama Kriten di sekolahnya. Selalu mengerjakan semua tugas yang diberikan, termasuk ulangan/ujiannya.

Bahkan nilai-nilai pengetahuannya selalu tinggi nilainya. Namun, saat nilai praktik, ketiga anak tidak bersedia menyanyikan lagu rohani yang ditentukan gurunya karena bertentangan dengan akidahnya, dan meminta bisa mengganti lagu yang sesuai dengan akidahnya.

"Kasus tidak naik kelas yang ketiga kalinya juga digugat ke Pengadilan TUN, pengajuan perkara baru dilakukan pada Oktober 2021. Saat ini masih dalam proses persidangan," jelas Retno.

3 Siswa Kakak-Beradik Mau Naik Kelas

Retno menyampaikan tim gabungan juga mengunjungi rumah ketiga anak korban pada Senin (22/11) untuk mendengarkan suara anak dalam kasus yang menimpa mereka selama tiga tahun berturut-turut. Mereka menyatakan ingin sekali naik kelas.
"Ketika tim bertanya apa harapan atau keinginan ketiga anak, mereka menjawab 'hanya ingin naik kelas'. Saat ditanya apa lagi harapannya? Jawabannya kurang lebih sama, hanya ingin naik kelas. Ketiganya juga ingin tetap bersekolah di SDN 051 Kota Tarakan. Ketiga anak menyatakan kehilangan semangat belajar jika nanti akan mengalami tidak naik kelas lagi untuk keempat kalinya," tutur Retno.

Selain itu, tim juga melakukan wawancara dengan Dh selaku guru Pendidikan Agama Kristen yang diperbantukan di SDN 051 Tarakan. Tim juga mewawancarai ibu D, guru PJOK yang juga menjadi Pembina Agama Kristen.

"Ketika tim bertanya pendapat Dh selalu guru ketiga anak korban, dijawab anak-anak itu pintar, bahkan nilai-nilai pengetahuan sering mendapat 100 (nilai sempurna). Selain itu ketiga anak korban juga berkelakuan baik dan sopan. Hal senada juga dikemukan oleh ibu D selaku pembina agama Kristen," ucap Retno.

Saat pengawasan di sekolah, ada beberapa usulan untuk solusi, diantaranya adalah usulan dari Kepala LPMP Kalimantan Utara Jarwoko yang mengusulkan ketiga anak tetap diberikan pembelajaran agama dari guru agama Kristen, namun hanya aspek kognitif/pengetahuan dan aspek afektif/sikap. Sedangkan aspek Psikomotorik/Praktik/ketrampilan di serahkan kepada komunitas agama ketiga anak tersebut, agar tidak ada lagi perdebatan soal akidah.

Selain itu, Kepala Dinas Pendidikan Kota Tarakan juga mengusulkan ketiga anak di naikan kelas, hanya untuk keputusan tidak naik kelas yang ke-3, dimana anak-anak akan mengikuti remedial terlebih dahulu untuk nilai yang tidak tuntas, yaitu nilai pendidikan agama saja, mengingat nilai mata pelajaran lain tuntas bahkan dengan nilai tinggi.

Hasil Diskusi Tim Gabungan

Retno mengatakan usulan Kepala LPMP Kalimantan Utara dan Kepala Dinas Pendidikan Kota Tarakan justru menjadi tidak jelas penyelesaiannya saat FGD berlangsung pada Rabu (24/11) di kantor Walikota Tarakan. Sebab, para perwakilan SKPD yang hadir justru memiliki argumentasi yang mementahkan kedua rencana tersebut.

Retno bahkan menyebut usulan yang ditawarkan pun sangat tidak berpihak pada kepentingan terbaik bagi anak. Berikut usulan dari FGD Tim Gabungan:

1. Kenaikan kelas bisa dilakukan jika ada surat rekomendasi dari Itjen Kemendikbudristek yang memerintahkan agar sekolah menaikkan kelas ketiga anak korban. Padahal, kenaikan kelas merupakan kewenangan sekolah dan dewan guru.

Itjen Kemendikbudristek dan KPAI tidak memiliki kewenangan menentukan naik kelas/tidaknya peserta didik. Selain itu, usulan kenaikan kelas juatru dikemukakan sendiri oleh Kepala Dinas Pendidikan Kota Tarakan saat Tim gabungan pengawasan ke sekolah;

2. Kenaikan kelas dapat dilakukan dengan syarat tertentu, diantaranya cabut gugatan. Padahal pencabutan gugatan maupun rencana remedial untuk kenaikan kelas dapat dilakukan pihak sekolah dengan duduk bareng bersama pihak orang tua peserta didik dapat dibicarakan secara kekeluargaan, pendekatan untuk mencairkan suasana harus dilakukan semua pihak, bicara kepentingan terbaik bagi anak harus dengan nurani dan persfektif perlindungan anak;

3. Usulan perwakilan Inspektorat Tarakan menyatakan bahwa akar masalahnya adalah di keputusan Kementerian Agama yang memasukan Saksi Yehuwa ke dalam pendidikan agama Kristen. Jadi yang bersangkutan mengusulkan agar Kemendikbudristek dan KPAI bersurat kepada Kementerian Agama untuk mencabut keputusan tersebut, dan jika ingin Saksi Yehuwa diakomodir maka diminta Kemendikbud dan KPAI bersurat pada Presiden agar mengusulkan Saksi Yehuwa menjadi agama resmi Negara yang ke-7.

Padahal semua usulan tersebut jelas bukan kewenangan Kemendikbud maupun KPAI. Usulan ini pun jelas menunjukkan bahwa penyelesaian masalah kakak beradik yang tidak naik kelas 3 kali sama sekali bukan didasarkan pada kepentingan terbaik bagi anak.

Retno pun menilai upaya penyelesaian kasus 3 siswa ini dinilai belum berpihak pada kepentingan anak. Dia pun meminta semua pihak memikirkan nasib ketiga anak ini.

"Oleh karena itu, sejatinya para pihak dalam mengambil keputusan harus mengedepankan kepetingan terbaik bagi ketiganya anak demi masa depan mereka yang masih panjang," pungkas Retno.


Tulis Komentar