Nasional

Waspadai Institusi Pendidikan Berkedok Pesantren

Ilustrasi.

GILANGNEWS.COM - Temuan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) terkait 198 pesantren yang diduga terindikasi dan terafiliasi dengan jaringan terorisme, menuai polemik di masyarakat. Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Boy Rafli Amar pun menyampaikan permohonan maaf dan menjelaskan atas polemik temuan itu.

Praktisi pesantren, Najih Arromadloni, mengungkapkan bahwa hasil riset terkait afiliasi pesantren dengan kelompok teroris bermanfaat untuk meningkatkan public awareness. Itu penting bersamaan dengan banyaknya pesantren yang membawa ideologi transnasional di balik kemunculannya.

"Mereka ini suka melakukan kamuflase dengan mengambil nama pesantren, tetapi sebenarnya tidak menerapkan atau mengambil substansinya," ujar Najih Arromadloni, Sabtu (5/2).

Pendiri Center for Research and Islamic Studies (CRIS) Foundation ini menyayangkan fenomena kemunculan pesantren-pesantren baru yang hanya secara formalitas mengambil nama pesantren. Tetapi kurikulum, sistem pendidikan dan bahkan pembelajaran kitab kuning tidak disertakan di dalamnya. Fakta inilah yang membuat semua pihak harus waspadai institusi pendidikan yang berkedok pesantren.

"Hal ini agar terbangun kewaspadaan dari semua pihak, baik itu stakeholder pemerintah maupun masyarakat. Intinya masyarakat agar lebih selektif dalam memilih pesantren," jelas Gus Najih, panggilan karibnya.

Ia mengungkapkan, beberapa hal yang perlu menjadi perhatian masyarakat, orangtua dan calon santri dalam memilih pesantren di tengah makin banyaknya bermunculan pesantren di negeri ini. "Harus dilihat dulu sanad atau tradisi keilmuannya ke mana," ungkapnya.

Menurutnya, perlu diteliti juga terkait afiliasi pesantren tersebut dengan organisasi masyarakat (ormas). Juga keterbukaan pesantren dengan masyarakat sekitar menjadi poin yang harus diperhatikan guna menghindari kecurigaan pesantren tersebut bersifat eksklusif. Perlu juga dilihat track record atau rekam jejak dari pesantren tersebut.

Ia menilai, kesalahan dalam memilih pesantren justru akan menimbulkan dampak panjang yang akan mempengaruhi dan berbahaya bagi keberlangsungan bangsa ini. Terlebih saat ini marak masuknya ideologi transnasional sebagai akibat dari kemajuan teknologi informasi.

"Padahal, khittah pesantren sejak dahulu adalah doktrin ‘hubhul wathon minal iman’, yaitu cinta terhadap tanah air adalah bagian daripada iman. Dan itu yang selama ini menjadi realitas dunia pesantren sepanjang sejarah Nusantara ini," ujarnya.

Gus Najih melanjutkan, sejatinya selama ini pesantren memiliki andil besar dalam sejarah Nusantara. Dimana pesantren telah mencetak banyak tokoh utama bangsa dari kalangan santri.

"Seperti KH Ma'ruf Amin yang sekarang jadi Wakil Presiden, serta almarhum KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang pernah menduduki posisi sebagai Presiden. Jadi memang pesantren adalah salah satu cagar pendidikan yang khas Nusantara," tutur Sekretaris Badan Penanggulangan Ekstremisme dan Terorisme Majelis Ulama Indonesia (BPET MUI) ini.

Ia mengungkapkan, kekhasan pesantren yang seperti demikian tidak bisa ditemukan di negara lain. Terlebih, pesantren di Nusantara ini memiliki keunggulan corak dan kebudayaannya masing-masing.

"Masing-masing pesantren ini memiliki keunggulan, keunikan dan keragaman kurikulum, sehingga membuat lembaga tersebut semakin kaya warna. Sebagaimana Gus Dur mengatakan, pesantren itu adalah subkultur dari kultur Indonesia yang sangat beragam," katanya.

Ia mengutip data dari Kementerian Agama, pesantren yang telah melekat sebagai subkultur Nusantara, saat ini tercatat sudah ada hampir 28 ribu. Dengan jumlah yang sedemikian banyak, ia menilai perlu adanya regulasi yang ketat untuk mengawasi keberadaan pesantren.

"Mestinya juga dalam menerbitkan izin pesantren, Kementerian Agama perlu menerapkan sebuah regulasi yang ketat dan perlu juga melibatkan ormas ataupun masyarakat," ucapnya.

Gus Najih melanjutkan, pesantren-pesantren yang di bawah organisasi seperti Nahdlatul Ulama (NU) atau Muhammadiyah sudah diketahui lisensi dari ormasnya dan dikenal masyarakat dengan baik sebagai ormas besar moderat. Karena itu penting bagi pemerintah melibatkan ormas atau pun masyarakat yang berinteraksi langsung dengan pesantren.

"Sebetulnya, pesantren yang moderat ini adalah kekuatan bagi negara untuk melakukan kontra terhadap pesantren yang radikal dengan menyebarkan agama yang moderat," ujarnya.

Untuk itu, Gus Najih mengapresiasi peran pemerintah yang dinilai sudah tepat dalam menangani fenomena radikalisme yang tumbuh. Khususnya dalam melibatkan banyak ormas keagamaan, ulama dan tokoh masyarakat.

"Saya melihat pemerintah, melalui BNPT, sudah membentuk Gugus Tugas Pemuka Lintas Agama, yang anggotanya terdiri dari berbagai tokoh-tokoh dari berbagai ormas keagamaan yang ada di Indonesia. Hal itu menunjukkan komitmen pemerintah untuk berjalan bersama pesantren dalam penanggulangan radikalisme dan terorisme di Indonesia ini," katanya.


Tulis Komentar