Nasional

Sidang Ketiga Pilpres, Drama 20 Jam dan Cerita Saksi Mundur

Tim Hukum Prabowo-Sandi mempersiapkan saksi sebelum memberi keterangan di sidang sengketa pilpres di Mahkamah Konstitusi, Jakarta (19/6).

GILANGNEWS.COM - Gelaran ketiga sidang sengketa Pilpres 2019 berjalan maraton selama 20 jam di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat.

Sidang yang dimulai dari pukul 09.00 WIB pada Rabu (19/6) itu baru selesai sekitar pukul 05.00 WIB, Kamis (20/6). Sebelum menutup persidangan, Ketua MK Anwar Usman menyatakan agenda sidang keempat yang digelar hari ini akan dimulai pukul 13.00 WIB.

Seperti yang telah dijadwalkan MK, sidang hari ini mendengarkan keterangan saksi dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai pihak termohon.


Pada agenda ketiga sidang sengketa pilpres yang berlangsung sejak kemarin, MK memeriksa kesaksian dan keterangan ahli yang disodorkan paslon nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno sebagai pihak pemohon.

Setidaknya ada 15 saksi, dan dua ahli yang disodorkan kubu 02. Namun, hanya 14 saksi yang memberikan keterangan. Sebab, salah satu saksi yakni aktivis HAM Haris Azhar menolak memberikan kesaksian.

"Saya menyatakan tidak bersedia untuk hadir sebagai saksi dalam Sidang Sengketa Pemilihan Presiden 2019 di Mahkamah Konstitusi hari ini pada tanggal 19 Juni 2019," kata dia, dalam keterangan tertulisnya kemarin petang.

Kemudian malam harinya, Haris mengaku enggan menjadi saksi yang menguntungkan pihak-pihak terkait kasus pelanggaran HAM. Lantaran itu, ia menolak menjadi saksi bagi kubu paslon nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga.

"Ngapain juga jadi saksi yang menguntungkan salah satu pihak yang terkait kasus HAM? Makanya saya menolak jadi saksi," ucapnya dalam wawancara dengan media TV, Rabu (19/6) malam.

Ketua tim Kuasa Hukum Bambang Widjojanto saat dikonfirmasi soal keputusan Haris Azhar tersebut mengaku dirinya tidak tahu karena sedang fokus dengan persidangan.

"Saya belum tahu. Kalau itu ada, mungkin bagus. Tapi saya belum pernah melihat itu. Makanya, harus saya tanya sama teman-teman saya yang ngurus itu," ujar Bambang dan berdalih bahwa ada pembagian kerja di timnya sebagai pengacara Prabowo-Sandi.

Kesaksian Tak Detail

Dalam sidang, sejumlah saksi yang dihadirkan tim hukum Prabowo-Sandi bersaksi berdasarkan mendengar dari orang lain atau testimonium de auditu, dan tak mengetahui secara detail.

Pada tahap-tahap awal persidangan, MK mempermasalahkan kesaksian namun tanpa bukti fisik. Misalnya, soal bukti dari pernyataan saksi Agus Muhammad Maksum tentang 17,5 juta Daftar Pemilih tetap (DPT) tak wajar berkode khusus selama Pilpres 2019.

Selanjutnya, saksi paslon Prabowo-Sandi, Beti Kristiana, mengaku melihat amplop berceceran di halaman kantor Kecamatan Juwangi, Kabupaten Boyolali. Ia menduga amplop itu berisi C1 asli atau hasil rekapitulasi suara. Dia kemudian merekamnya dan mengunggahnya ke Youtube.

Beti mengaku mengetahuinya berdasarkan pengakuan seorang petugas Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK). Soal validitas identitas petugas itu, Beti mengaku hanya berdasar pengakuan orang lain.

"Saya tidak mengetahui secara persis," aku Beti. Namanya? "Lupa," ucap dia. Beti juga mengaku tahu bahwa kertas dalam amplop itu ada formulir C1 karena melihatnya berbentuk lebar dan besar.

Untuk kasus di Juwangi, dalam keterangannya di sidang MK, Bawaslu menyebut tidak ada laporan dan temuan kecurangan pemilu di lokasi itu.

Sementara itu saksi lain, Listiani, memberikan keterangan soal pengerahan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo untuk pemenangan paslon nomor urut 01 Joko Widodo (Jokowi)-Ma'ruf Amin pada 31 Januari lalu. Namun, saksi mengaku mengaku melihat deklarasi yang dilakukan bersama 32 kepala daerah se-Jateng ini dari rekaman video melalui Youtube.

Saat dicecar pihak KPU, ia juga tak mengetahui secara pasti soal deklarasi itu digelar secara sah atau tidak. Dalam sidang tersebut Ketua Bawaslu Abhan menyatakan tidak ada pelanggaran pemilu dalam kasus Ganjar itu. Pelanggaran hanya terjadi terhadap UU Pemda.

Kesaksian Mata Langsung

Ada saksi, Nur Lathifah, yang mengaku melihat langsung 'kecurangan' yang dilakukan anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di TPS yang ia datangi di Dusu Winongsari, Boyolali, Jawa Tengah. Nur Lathifah mengaku dirinya melihat sekitar 15 surat suara dari pemilih yang dicobloskan anggota KPPS bernama Komri.

Saat ditanya lebih lanjut oleh hakim konstitusi Suhartoyo, Nur Lathifah menyatakan ternyata di dusun itu ada kesepakatan bahwa orang yang tidak tahu dan lanjut usia dicobloskan oleh anggota KPPS. Namun, Lathifah yang mengaku bukan saksi dari kubu 02 melainkan hanya relawan itu tak mengetahui apakah sang petugas sekadar membantu prosesnya atau memengaruhi pilihan pemilih.

Kesaksian mata langsung diakui pula oleh Idham Amiruddin. Saat ditanya kuasa hukum KPU Ali Nurdin, Idham mengatakan pada hari pencoblosan suara dirinya mencoba mencocokkan kejanggalan NIK yang didapat dari partai Gerindra di sampel TPS tempat tinggalnya.

"Di TPS itu tidak dicoret, dan ada orang yang mencoblos. Ketika saya meminta KTP orang itu untuk sekadar mencocokkan elemen data dengan DPT, pertamanya dia memberikan. Setelah saya ambil, dia di kode Pak RT, dia lalu menarik 'kamu tidak berhak'. Begitulah yang terjadi, orang terlalu takut enggak jelas alasannya," ujar Idham.

Ali Nurdin lalu meminta penegasan kembali kepada Idham soal pernyataan DPT di TPS-TPS yang bermasalah di Sidrap, Enrekang dan Pinrang (Sulawesi Selatan).

"Bapak tahu di Enrekang, 02 mendapatkan 75 persen?" tanya Ali Nurdin.

"Saya tidak tahu," jawab Idham.

"Bapak tahu di Pinrang, 02 mendapatkan 61 persen?"

"Saya, saya tidak tahu," jawab Idham.


Tulis Komentar