Nasional

Kemenkes Tegaskan Kebijakan soal Harga PCR Berpihak ke Rakyat

Juru Bicara Vaksinasi COVID-19 Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi

GILANGNEWS.COM - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kesehatan dan Keadilan menduga bahwa penurunan harga tes PCR oleh pemerintah hanya untuk menguntungkan kelompok bisnis tertentu. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menegaskan bahwa kebijakan penentuan harga PCR justru berpihak kepada rakyat.
"Kita mengambil kebijakan tentunya berpihak kepada rakyat," kata Juru Bicara Vaksinasi COVID-19 Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi, kepada wartawan, Minggu (31/10/2021).

Siti mengatakan pemerintah menurunkan harga PCR sesuai dengan perkembangan kondisi yang ada. Menurutnya, dengan banyaknya jumlah reagen PCR dan semakin murahnya harganya tentunya perlu dilakukan penyesuaian harga batas tertinggi pemeriksaan PCR.

"Dan tentunya ini semakin memudahkan masyarakat tuk akses dan deteksi dini kesehatannya. Kita dalam masa menekan laju penularan dan kasus pos serendah mungkin dalam periode waktu yang lama sehingga kita bisa mencegah virus berkembang, menyebar dan bermutasi. Dan kita akan dapat melakukan berbagai kegiatan sosial dan ekonomi lainnya," ujarnya.

Seperti diketahui, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Kesehatan dan Keadilan menilai penentuan harga tes PCR di Indonesia tidak mencerminkan asas transparansi dan akuntabilitas. Koalisi ini menduga bahwa penurunan harga PCR oleh pemerintah hanya untuk menguntungkan kelompok bisnis tertentu.

"Kebijakan tersebut diduga hanya untuk mengakomodir kepentingan kelompok tertentu yang memiliki bisnis alat kesehatan, khususnya ketika PCR dijadikan syarat untuk seluruh moda transportasi," kata Muhammad Isnur yang menjadi bagian dari koalisi, dalam keterangan tertulis, Minggu (31/10). Koalisi ini terdiri atas ICW, YLBHI, LaporCovid-19, dan Lokataru.

Ketentuan mengenai harga pemeriksaan PCR setidaknya telah berubah sebanyak 4 kali. Saat awal pandemi muncul, harga PCR belum dikontrol oleh pemerintah sehingga harganya sangat tinggi mencapai Rp 2,5 juta. Kemudian pada Oktober 2020, pemerintah baru mengontrol harga tersebut PCR menjadi Rp 900.000.

Sepuluh bulan kemudian, harga PCR kembali turun menjadi Rp 495.000-Rp 525.000 akibat kritikan dari masyarakat yang membandingkan biaya di Indonesia dengan di India. Terakhir, 27 Oktober lalu pemerintah menurunkan harga menjadi Rp 275-300 ribu.

"Perlu diingat ketika lonjakan angka positif COVID-19 pada Juli 2021, harga pemeriksaan PCR saat itu berada pada harga Rp 900 ribu/tes yang mengakibatkan tidak seluruh masyarakat dapat mengakses pemeriksaan tersebut. Meskipun sebulan setelahnya turun akibat desakan masyarakat dan perbandingan biaya pemeriksaan dengan India, sudah jelas pemerintah tidak menggunakan prinsip kedaruratan kesehatan masyarakat dan mementingkan kepentingan kelompok bisnis tertentu," ucap Isnur.

Isnur menyebut penurunan harga PCR yang terakhir terkesan hanya untuk menggenjot mobilitas masyarakat. Pihaknya, kata Isnur, melihat bahwa penurunan harga ini seharusnya dapat dilakukan ketika gelombang kedua melanda, sehingga warga tidak kesulitan mendapatkan hak atas kesehatannya.

"Penurunan harga PCR untuk kebutuhan mobilitas juga mencerminkan bahwa kebijakan ini tidak dilandasi asas kesehatan masyarakat, namun pemulihan ekonomi. Dari seluruh rangkaian perubahan tarif pemeriksaan PCR sejak awal hingga akhir, koalisi mencatat setidaknya ada lebih dari Rp 23 triliun uang yang berputar dalam bisnis tersebut. Total potensi keuntungan yang didapatkan adalah sekitar Rp 10 triliun lebih," ujarnya.

"Ketika ada ketentuan yang mensyaratkan penggunaan PCR untuk seluruh moda transportasi, perputaran uang dan potensi keuntungan yang didapatkan tentu akan meningkat tajam. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa pemerintah gagal dalam memberikan jaminan keselamatan bagi warga," tambahnya.

Lebih jauh, koalisi ini membeberkan berdasarkan anggaran penanganan COVID-19 sektor kesehatan tahun 2020, diketahui bahwa realisasi penggunaan anggaran untuk bidang kesehatan hanya 63,6% dari Rp 99,5 triliun. Menurutnya, per 15 Oktober diketahui bahwa dari Rp 193,9 triliun alokasi anggaran penanganan COVID-19 untuk sektor kesehatan, baru terserap 53,9%.

Lebih lanjut, Isnur menyebut terdapat 2 permasalahan dari kondisi di atas. Pertama, pihaknya menduga penurunan harga PCR karena sejumlah barang yang telah dibeli, baik oleh pemerintah/perusahaan, akan memasuki masa kadaluarsa.

"Dengan dikeluarkannya ketentuan tersebut diduga pemerintah sedang membantu penyedia jasa untuk menghabiskan reagen PCR. Sebab, kondisi tersebut pernah ditemukan oleh ICW saat melakukan investigasi bersama dengan Klub Jurnalis Investigasi," imbuhnya.

Kedua, ketertutupan informasi mengenai komponen biaya pembentuk harga pemeriksaan PCR. Dalam sejumlah pemberitaan, BPKP dan Kementerian Kesehatan tidak pernah menyampaikan informasi apapun perihal jenis komponen dan besarannya.

"Berdasarkan informasi yang dimiliki oleh Koalisi, sejak Oktober 2020 lalu, harga reagen PCR hanya sebesar Rp 180 ribu. Ketika pemerintah menetapkan harga Rp 900 ribu, maka komponen harga reagen PCR hanya 20 persen, selain itu komponen harga lainnya tidak dibuka secara transparan sehingga penurunan harga menjadi Rp 900 ribu juga tidak memiliki landasan yang jelas. Begitu pula dengan penurunan harga PCR menjadi Rp 350.000 juga tidak dilandaskan keterbukaan informasi, sehingga keputusan kebijakan dapat diambil berdasarkan kepentingan kelompok tertentu. Artinya sejak Oktober 2020 pemerintah diduga mengakomodir sejumlah kepentingan kelompok tertentu," jelasnya.


Tulis Komentar