Nasional

Sipil Kritik RUU Terorisme, Tak Ada Mekanisme Kontrol Militer

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menilai wacana pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme tidak diperlukan.

GILANGNEWS.COM - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menilai wacana pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme tidak diperlukan. Sebab, selama ini tidak ada mekanisme kontrol dari sipil terhadap militer.

Yati Andriyati, Koordinator Kontras yang menjadi anggota Koalisi mengatakan, masyarakat sipil hingga saat ini belum bisa menyentuh militer. Setiap kesalahan yang dilakukan personel TNI tidak bisa diadili di ranah sipil, melainkan lewat peradilan militer.

Dengan kondisi seperti ini, kata Yati, pihaknya khawatir jika TNI dilibatkan dalam penanganan terorisme, masyarakat tidak bisa meminta pertanggungjawaban militer lewat mekanisme sipil, terutama bila terjadi pelanggaaran hukum oleh aparat TNI.

"Kami khawatir supremasi sipil dan penegakan hukum akan terganggu. Kita sampai hari ini tidak ada satu mekanisme kontrol sipil terhadap militer," kata Yati di kantor Imparsial di Jakarta Selatan, Selasa (23/1).

Yati menduga ada upaya sistematis dan masif dari militer untuk kembali menguasai ruang-ruang sipil. Namun ia tak menyebut upaya sistematis seperti apa yang dilakukan TNI dalam menguasai ruang sipil. Hanya saja, menurutnya, jika hal ini sampai terjadi, maka ada indikasi melemahnya peran sipil terhadap militer.

Peran sipil ini harusnya digawangi oleh DPR sebagai wakil rakyat. Dalam kasus terorisme, peran sipil diwakili oleh kepolisian.

"Jangan-jangan DPR memberi keistimewaan kepada militer yang tak sesuai mandatnya sebagai pertahanan negara," ujar Yati.

Koalisi ini menilai pelibatan militer dalam pemberantasan terorisme hanya akan melemahkan posisi masyarakat sipil. Mereka menolak perluasan definisi terorisme yang berpotensi disalahgunakan untuk menangkap pihak yang kritis pada pemerintah.

Selain itu Koalisi Masyarakat Sipil juga menolak pembahasan tugas dan wewenang TNI dalam pemberantasan terorisme. Anggota koalisi, Direktur Imparsial Al Araf menyebut koalisinya juga tak setuju dengan pengubahan judul RUU menjadi "Penanggulangan Aksi Terorisme" di pengujung masa pembahasan.

Hal ini merespons surat dari Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto kepada Ketua Pansus RUU Terorisme pada 8 Januari 2018. Dalam surat bernomor B/91/I/2018 Hadi mengusulkan keterlibatan TNI dalam upaya memberantas terorisme lewat RUU Terorisme.

"Koalisi menyatakan seharusnya pelibatan militer tak perlu diatur dalam RUU Terorisme. Sudah jelas diatur dalam UU TNI," kata Al Araf.

Sudah sekitar setahun perubahan pembahasan tentang pengubahan UU No 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dibahas di DPR.

Erwin Natosmal dari Indonesian Legal Roundtable (ILR) menambahkan, terjadi tren di dunia internasional untuk mengurangi bahkan meninggalkan peran militer dalam urusan sipil. Namun di Indonesia malah terjadi sebaliknya.

Padahal, kata dia, kembalinya militer menguasai sipil bisa jadi titik awal kembalinya wujud negara otoritarian. Ia mencontohkan seperti yang terjadi di Spanyol.

"Kecenderungan beberapa negara yang kembali ke otoritarian diawali dengan diberikannya ruang dan kebijakan publik pada militer untuk masuk ke ruang sipil," tutur Erwin.

Yati menuturkan Koalisi bukan ingin membatasi ruang gerak militer, melainkan agar TNI fokus pada tugas pokok dan fungsinya (Tupoksi).

"Kami mau TNI fokus pada mandat dan kewajibannya sebagai alat pertahanan Negara. Bukan sibuk di ranah yang bukan tugasnya," tutur Yati.

Koalisi Masyarakat Sipil merupakan gabungan organisasi di antaranya Imparsial, Kontras, ELSAM, YLBHI, LBH Jakarta, ICW, PBHI, Walhi, Perludem, SETARA Institute, LBH Pers, HRWG, Institut Demokrasi, ILR, dan TII.


Tulis Komentar