Nasional

Penunjukan dua jenderal polisi sebagai pejabat gubernur dinilai tak layak

Petugas polisi bertugas menjaga keamanan, termasuk pemilihan umum di Indonesia.

GILANGNEWS.COM - Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengusulkan dua jenderal polisi sebagai pejabat gubernur di dua provinsi yang akan menggelar pemilihan gubernur.

Namun alasan Mendagri Tjahjo bahwa ada potensi gangguan keamanan dan karenanya perlu mengangkat pejabat polisi oleh sejumlah pengamat dinilai tidak dapat diterima.

Pakar hukum tata negara, Irmanputra Sidin, mengatakan pemilihan petinggi polisi sebagai pejabat gubernur bertentangan dengan fungsi polisi itu sendiri.

"Polri diciptakan tidak untuk bidang pemerintahan. Polri adalah aparat negara untuk menjaga keamanan, ketertiban, serta penegakan hukum," kata Irmanputra, Jumat (26/01).

Dua nama yang diusulkan Tjahjo sebagai pejabat gubernur adalah Asisten Operasi Kapolri Inspektur Jenderal M. Iriawan dan Kepala Divisi Propam Polri Inspektur Jenderal Martuani Sormin.

Iriawan akan diangkat sebagai pejabat gubernur Jawa Barat, mengisi posisi yang ditinggalkan Ahmad Heryawan mulai 13 Juni 2018. Sementara Martuani akan menjalan tugas sebagai gubernur Sumut menggantikan Tengku Erry Nuradi yang habis masa jabatannya pada 17 Juni 2018.

Menurut Tjahjo, alasan memilih jenderal kepolisian itu adalah kerawanan gangguan keamanan pemilihan gubernur di sana. Dia menilai Jawa Barat dan Sumatera Utara punya potensi kerawanan.

Selain itu, juga karena kekurangan pejabat eselon satu yang dapat menggantikan gubernur yang berakhir masa jabatan atau bertarung di pemilihan kepala daerah. Total ada 17 provinsi yang menggelar pemilihan gubernur 2018.

Menurut Tjahjo, penunjukan itu sudah sesuai dengan aturan yang ada yakni UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada dan Permendagri Nomor 1 Tahun 2018.

Tjahjo menambahkan, penunjukan pejabat sementara dari polisi maupun TNI sudah pernah dilakukan sebelumnya, yakni ketika digelar pemilihan kepala daerah 2017.

"Tahun lalu, saya minta polisi juga, dikasih Pak Carlo Tewu (di Sulawesi Barat). Tidak ada masalah. Dari TNI (Dirjen Polpum, Soedarmo), Pak Darmo di Aceh," ucap Tjahjo kepada wartawan, Kamis (25/01).

Penentuan nama jenderal polisi itu, kata Tjahjo, merupakan hasil konsultasi dengan Kapolri Jenderal Tito Karnavian. Begitu juga prosedur yang berlaku saat meminta polisi menjadi pejabat Gubernur Sulbar tahun 2017.

"Intinya pejabat TNI atau Polri yang berpangkat Mayjen atau eselon I. Bisa saja tahun depan ada juga dari kejaksaan," ujar Tjahjo.

Soal alasan keamanan untuk menunjuk jenderal polisi, Irmanputra juga mempertanyakannya. Pasalnya pejabat gubernur bukanlah penanggung jawab keamanan.

"Apakah kepala Polda di sana tidak bekerja? Institusi Polda sudah ada (untuk menjaga keamanan)," kata Irmanputra yang juga advokat ini.

Direktur Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia, Aditya Perdana, juga punya pendapat kritis terhadap penunjukan kedua petinggi polisi itu.

"Perlu dikhawatirkan. Ada apa?" kata Aditya.

Aditya mengingatkan patut diawasi kepentingan politik partai pemerintah yakni PDI Perjuangan. Terutama Menteri Tjahjo adalah anggota partai dan ada dua kandidat dari partai itu di dua provinsi tadi.

Yakni Djarot Saiful Hidayat dan Sihar Sitorus di Sumatera Utara dan Tb Hasanuddin dan Anton Charliyan untuk Jawa Barat.

Soalnya, ucap Aditya, "dukungan terhadap kandidat secara formal tidak mungkin. Tapi secara informal, mungkin bisa terjadi."

Menurut Aditya, keberadaan kedua petinggi polisi itu bisa dipakai untuk kepentingan politik kandidat dengan memanfaatkan jaringan polisi.

"Apakah calon dari PDI Perjuangan di sana akan maksimalkan sayap-sayap polisi? Itu yang perlu diawasi," pungkas Aditya.

Tjahjo sendiri mengatakan menerima setiap masukan dan kritikan dari masyarakat.

"Kalau ada masyarakat yang bertanya wajar. Masyarakat bertanya, saya menjawabnya ini, ya begitu saja," tegasnya.

Usulan kedua nama itu, lanjut Tjahjo, belum final karena masih menunggu persetujuan Presiden Joko Widodo.

"Keputusan Presiden belum keluar," kata Tjahjo.


Tulis Komentar