Nasional

Gara-gara sampah plastik, pegiat lingkungan ingin gugat Indonesia di Mahkamah Internasional

Ilustrasi

GILANGNEWS.COM - Sebuah laporan yang ditulis pegiat lingkungan asal Inggris bernama Oliver Tickell menyebutkan bahwa Indonesia dapat dituntut di Mahkamah Kriminal Internasional (ICJ) karena merupakan salah satu negara yang paling banyak menyumbangkan sampah plastik di lautan dunia.

Laporan yang disampaikan pada Selasa (20/02) itu juga menyatakan Indonesia, Cina, dan India, dapat diminta membayar ganti rugi ke negara kepulauan yang lebih kecil yang garis pantainya dirusak plastik.

Tuntutan tersebut, sebagaimana ditulis Tickell, didasarkan antara lain pada Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS), London Convention dan berbagai kesepakatan kawasan.

"Laporan ini memberikan gambaran penting kesepakatan internasional terkait polusi plastik dan berbagai pemerintahan perlu menerapkan janji mereka. Tetapi mereka seharusnya tidak menunggu tindakan dunia sebelum membersihkan lingkungannya sendiri," kata ClientEarth, yang memberikan dukungan hukum bagi Tickell.

Bagaimana respons pemerintah Indonesia?

Tetapi pemerintah Indonesia justru mempertanyakan dasar kesimpulan bahwa sampah-sampah plastik tersebut memang berasal dari Indonesia.

Deputi IV Kementerian Koordinator bidang Kemaritiman, Dr Ir Safri Burhanuddin, mengatakan posisi Indonesia yang berada di jalur persimpangan membuat sampah dari berbagai tempat melintas.

"Indonesia adalah pertemuan dari dua samudera. Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Semua jalur itu yang namanya arus lintas Indonesia, itu melewati Indonesia," kata Safri.

"Apakah kami menuntut negara-negara di Pasifik atau negara-negara di Samudera Hindia yang mengotori Indonesia juga?" tanyanya.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi VII DPR, Satya Widya Yudha, menegaskan setiap negara punya peraturan sendiri--walau dia mendukung bahwa perlu ketegasan terhadap pembuat polusi.

"Setiap negara mempunyai aturan main sendiri. Apakah itu diterapkan secara gradual di Indonesia, itu bisa saja kita melihat di dalam perkembangannya ke depan setelah kita melakukan berbagai action yang ada di dalam Paris Agreement termasuk di dalam national leaders contribution," kata Satya Widya Yudha dari Fraksi Golkar yang membidangi masalah lingkungan.

Mungkinkah membawa Indonesia ke Mahkamah Internasional?

Desakan membawa Indonesia ke Mahkamah Kriminal Internasional dipandang tidak akan terjadi mengingat tuntutan di institusi tersebut seperti tidak akan didukung Indonesia.

"Kalau misalnya mereka urging (mendesak) supaya negaranya membawa Indonesia ke ICJ memang secara teoritis bisa," kata Guru besar hukum internasional, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Prof. Hikmahanto Juwana.

"Tetapi ketentuan di dalam ICJ itu menyatakan harus ada special agreement yang ditandatangani oleh kedua belah pihak yang mau bersengketa di ICJ bahwa mereka tunduk pada yuridiksi dari ICJ. Saya yakin pemerintah Indonesia tidak akan mau," tambahnya.

Hukum di Indonesia memadai?

Indonesia sendiri telah memiliki Undang-undang Lingkungan Hidup yang menjadi dasar penindakan berbagai pelanggaran lingkungan. Peraturan ini sudah diterapkan, termasuk dalam bentuk pengenaan denda, kata Satya Widya Yudha.

"Di Indonesia yang mempunyai, berkontribusi terhadap polusi bukan tidak didenda. Mereka juga mengalami beberapa sanksi-sanksi hukum. Tetapi tentunya tidak sekeras apabila kita menerapkan polluters pay," kata Satya dari komisi DPR yang membidangi masalah lingkungan.

Berdasarkan kebijakan ini, sejumlah perusahaan yang terbukti melakukan polusi, telah dapat diproses.

Tetapi proses ini tetap berpulang pada pihak-pihak yang terkait, mulai dari jaksa, pembela sampai ke hakim.

"Prinsipnya sudah, sudah ada di situ. Tetapi permasalahannya yang terbesar adalah ketika prinsip itu mau dijalankan di pengadilan, tentu akan ada jaksa, ada pengacara yang mewakili negara minta supaya ini dibayar, tetapi kan ada pembela, dan pembela akan menyampaikan argumentasi yang mengatakan seharusnya perusahaan yang dituduh tidak bersalah," Hikmahanto menjelaskan.

Bagaimanapun, hukum lingkungan yang ada sekarang ini dipandang memang belum cukup menerjemahkan perjanjian yang ada di dunia, karena proses ini memerlukan waktu, kata Hikmahanto.

"Menterjemahkan ke dalam hukum nasional ini tidak mudah, terutama di negara-negara seperti Indonesia. Kita harus menyisir peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia. Kalau misalnya peraturan perundang-undangannya bertentangan dengan UNCLOS maka peraturan itu harus diamandemen.

"Peraturan perundang-undangan yang saya maksud ini tentu tidak undang-undang tetapi juga peraturan di bawah-bawahnya termasuk peraturan daerah. Kalau ada yang ada bertentangan harus diamandemen. Kalau tidak ada, harus dibuat," jelasnya.

Permasalahannya, imbuh Hikmahanto, membuat undang-undang di Indonesia atau peraturan perundang-undangan tidak efisien seperti mungkin di negara-negara lain.


Tulis Komentar