Nasional

Kejahatan seksual di Tanah Suci: Bagaimana menghentikannya?

GILANGNEWS.COM - Aksi #MosqueMeToo yang disuarakan Sabica Khan asal Pakistan dan disambut dukungan Mona Eltahawy, wartawati Amerika Mesir, seharusnya menggema luas dari rongga bumi Indonesia.

Sebab, bagaimanapun, Indonesia adalah pengirim jamaah haji terbesar di dunia. Indonesia juga salah satu negara dengan penduduk Muslim paling progresif dalam kaitannya dengan perlindungan terhadap perempuan dalam isu kejahatan seksual.

Karenanya Indonesia seharusnya bisa menjadi pelopor penghentian praktik kejahatan seksual kepada perempuan jamaah haji di Tanah Suci!

Tagar #MosqueMeToo yang viral dalam beberapa hari belakangan ini menegaskan kekerasan seksual selama ibadah haji bukanlah dongeng tak bersumber. Para peneliti dari berbagai negara pengirim jamaah bisa mengumpulkan pengalaman-pengalaman traumatik perempuan terkait kejahatan seksual yang dialaminya.

Namun hal yang harus dilakukan terlebih dahulu adalah menghapus mitos bahwa nasib buruk jamaah haji di Tanah Suci merupakan cerminan atas perbuatan mereka di tempat asalnya.

Sebab tanpa menghapus mitos serupa itu praktik kejahatan seksual kepada jemaah perempuan di Tanah Suci ini niscaya akan terus tertutup rapat. Jangankan mencari solusi, sedang untuk menceritakan peristiwa itu dibutuhkan keberanian seperti Sabica Khan.

Sejauh yang pernah saya dengar, sesungguhnya sudah sangat lama perempuan-perempuan dari dunia Islam memendam kisah tentang fakta pelecehan seksual di tempat yang seharusnya menjadi arena meningkatnya spiritualitas manusia.

Namun, pemerintah Arab Saudi atau negara-negara asal para jamaah haji itu yang seharusnya telah lama mengetahui terjadinya berbagai pelecehan seksual yang dialami jemaah haji setiap tahun, tidak pernah menempuh jalan keluar sistemik.

Kampanye global anti kekerasan seksual #MeToo saat ini menjadi momentum yang dapat menggema luas di dunia Islam agar perempuan jamaah haji dari berbagai belahan dunia bisa terhindar dari penghinaan atas tubuh dan kedaulatannya.

Harapan serupa itu patutlah digarisbawahi dengan tinta tebal. Terutama karena kemungkinan untuk meredupkannya kembali juga tak kurang-kurang. Ini dapat dilihat dari stigma yang justru diarahkan kepada para korban, sepinya respons negara-negara Islam, dan jenis solusi yang ditawarkan.
Hukum karma?

Banyak pemuka agama, pejabat negara, maupun sesama jamaah sendiri seperti melakukan persekongkolan jahat dengan menghidupkan mitos bahwa pengalaman pelecehan seksual sang perempuan saat berhaji merupakan teguran Tuhan atau balasan atas perbuatan buruknya di tempat asal masing-masing.

Dan dengan berlindung kepada mitos serupa itu negara pengirim jamaah atau Arab Saudi sebagai negara penyelenggara ibadah haji, secara sengaja melakukan pembiaran yang terencana atas fakta kekerasan seksual yang dialami jamaah perempuan ini.

Alih-alih membantu korban dengan penanganan trauma atau berupaya menindak pelaku, korban malah distigma sebagai pelaku kejahatan seksual di tempat asalnya.

Anehnya, meski dalam ajaran Islam tak dikenal konsep hukum karma, dalam kasus-kasus seperti itu justru karma dijadikan sebagai jawaban atas nasib buruk yang dialami perempuan korban kekerasan seksual selama mereka berhaji.

Bayangkan, jika seorang perempuan mengalami perkosaan ketika sedang berhaji, maka stigma yang akan disandangkannya adalah ia pernah menjadi pezina di masa lalunya. Sudah barang tentu, dengan kuatnya mitos serupa itu, hanya perempuan seteguh Sabica Khan yang berani bicara kepada publik melalui tagarnya #MosqueMeToo.

Bahkan setelah ia melaporkan pengalamannya pun ia merasakan kekhawatiran yang amat sangat bahwa ia akan mengalami ancaman fisik lanjutan.

Kuatnya mitos bahwa apa yang dialami di Tanah Suci, termasuk pengalaman atas pelecehan dan kejahatan seksual itu merupakan karma masing-masing orang, jelas akan menyuburkan dan melanggengkan praktik kekerasan seksual kepada perempuan selama berhaji.

Ini juga sekaligus menunjukkan bahwa negara negara Muslim tak menganggap peristiwa ini sebagai kejahatan yang harus dipersoalkan.

Pemisahan perempuan dan pria saat berhaji

Ada dalil lain yang cukup masuk akal mengapa pelecehan seksual bisa terjadi. Jumlah jamaah haji jumlahnya jutaan orang. Berjejalnya manusia menciptakan situasi yang seakan memungkinkan terjadinya pelecehan.

Tapi jika penyelenggara memiliki mekanisme yang baik dalam penanganan haji niscaya ada yang dipikirkan sebagai solusi daripada menghidupkan mitos soal karma.

Salah satu solusi yang diwacanakan adalah cara yang pragmatis seperti melakukan pemisahan ruang gerak perempuan dan pria saat berhaji. Atau memberlakukan jam ibadah yang berbeda bagi keduanya dan membangun arena tawaf sa'i yang terpisah.

Padahal pemisahan itu justru akan mempersulit dan merugikan perempuan untuk menjalankan ritual ritual hajinya. Sebab perempuan bukanlah pihak yang dianggap penting dalam formasi ibadah. Dalam shalatpun mereka diposisikan di belakang.

Pemisahan ruang tanpa pemikiran yang matang dilihat dari aspek gendernya hanya akan mengesampingkan perempuan dari Ka'bah: jika tidak ditempatkan di belakang, mereka akan menempati 'jembatan layang' paling atas dalam arena tawaf (mengelilingi Ka'bah) dan sya'i (berlari kecil dari bukit Safa dan Marwa).

Pemisahan tempat antara jemaah haji lelaki dan perempuan juga riskan terjadinya pemerkosaan dan penculikan oleh lelaki oknum jamaah haji atau dari lelaki non-jemaah seperti muqimin (pemukim) atau penduduk setempat yang mencuri kesempatan dalam kesempitan.

Penjagaan lembaga internasional

Pilihan lain yang paling masuk akal adalah melakukan penjagaan secara seksama oleh lembaga-lembaga internasional yang berwenang dalam mengatasi pelecehan seksual.

Jika ini diterima maka pertama-tama harus ada pengakuan dari jamaah/umat Islam di seluruh dunia bahwa pelecehan seksual di Tanah Suci adalah sebuah kenyataan dan itu adalah kejahatan, bukan takdir.

Adanya pengakuan serupa ini akan berimplikasi kepada kewajiban untuk melakukan pengawasan serta tersedianya lembaga pelapor kekerasan seksual di tingkat dunia internasional yang beroperasi di Tanah Suci.

Laporan-laporan itu kemudian wajib ditindak-lanjuti oleh penyelenggara, dalam hal ini pemerintah Saudi.

Jika gagasan ini diterima, maka lembaga internasional seperti PBB atau khususnya lembaga yang terkait dengan perlindungan perempuan dari kekerasan, dan lembaga HAM Internasional lainnya, harus mendapatkan akses untuk ikut mengawasi jalannya penyelenggaraan haji.

Sebetulnya sudah cukup lama muncul usulan, terutama disuarakan oleh Iran, agar Tanah Suci tidak dimonopoli oleh pemerintah Saudi sendiri. Iran meminta agar Saudi membuka akses kepada negara-negara asal jamaah untuk ikut mengelola Mekkah.

Namun, pemerintah Saudi bersikukuh mempertahankan posisi sebagai penguasa tunggal atas Tanah Suci umat Islam sedunia itu.

Kini, makin terungkapnya fakta-fakta kekerasan seksual selama berhaji mungkin bisa menjadi momentum bagi negara-negara asal jemaah untuk meminta kewenangan dalam ikut melindungi warga negara mereka dari perundungan seksual, sebagaimana juga terjadi para tenaga kerja yang bekerja di luar negeri.


Tulis Komentar