Nasional

Rektor UIN: Larangan bercadar untuk cegah radikalisme, fundamentalisme

Universitas Islam Negeri (UIN) sebelumnya dikenal dengan mahasiswa pendukung Islam progresif.

GILANGNEWS.COM - Empat puluh dua mahasiswi Universitas Islam Negeri (UIN) Kalijaga, Yogyakarta pemakai cadar telah dikumpulkan, diminta mencabut cadar dengan kemungkinan dikeluarkan. Rektor Yudian Wahyudi mengatakan para mahasiswi akan diberikan sesi penyuluhan sampai sembilan kali.

"Kita mengumpulkan mahasiswa itu. Jumlahnya sudah ketahuan. Kemudian diklasifikasikan berdasarkan jurusan asal dan sebagainya. Saya juga sudah, tadi setelah rapat untuk membuat tim konseling.

"Konseling ini nanti terdiri dari dosen yang dari berbagai disiplin keilmuwan ... Sampai sembilan kali kalau mereka masih bertahan pada pendiriannya, ya sudah kami minta mereka tidak kampus," kata Yudian Wahyudi kepada wartawan.

Langkah yang diambil UIN ini didukung Abdullah Ubaid, kordinator nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) karena itu memang urusan dalam kampus itu sendiri.

"Kalau memang kebijakan internal kampusnya begitu, ya tidak ada salahnya juga. Karena identitas mahasiswa atau identitas negara itu harus jelas. Kalau misalnya hanya yang terlihat matanya saja itu kan tidak jelas.

"Dalam Indonesia malah menjadi aneh. Kalau ada perempuan yang memakai cadar itu malah justru menjadi perhatian publik. Yang harusnya perempuan itu, kalau dalam Islam tidak menjadi perhatian publik supaya tidak menjadi sumber fitnah," kata Ubaid dari LSM yang memantau berbagai masalah pendidikan.

Radikal?

Sebelumnya, terdapat sekitar satu hingga dua mahasiswi yang bercadar di UIN yang dikenal beraliran Islam progresif. Peningkatan jumlahnya menjadi puluhan menunjukkan gejala peningkatan radikalisme.

"Kami melihat gejala itu, kami ingin menyelamatkan mereka, karena mereka ini, jangan sampai ya, tersesat administrasi pendidikan, jadi politik administrasi pendidikan.

"Mungkin soal aqidah nggak ada masalah. Tetapi kalau mereka melakukan ini, kan sudah banyak kasus di tempat-tempat lain, orang-orang yang didoktrin seperti itu akibatnya hanya akan menjadi korban dari gerakan-gerakan radikal itu," kata Rektor UIN, Yudian Wahyudi.

Beberapa waktu lalu, sejumlah pihak sempat mengibarkan bendera Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), kelompok terlarang yang menentang Negara Kesatuan Republik Indonesia, di kampus UIN. Salah satu mantan dosen tidak tetap UIN diduga terlibat Muslim Cyber Army. Mantan dosen bahasa Inggris yang telah ditangkap ini menyebarkan berita bohong tentang mualif yang dibunuh orang.

Tetapi pengamat Islam dan politik, Prof Dr Noorhaidi Hasan mengatakan, berdasarkan penelitian yang didukung UNDP di SMA dan universitas pada 16 provinsi terkait bahan bacaan Islam, kebanyakan mahasiswa tidak menyukai literatur jihad.

"Mahasiswa itu sudah tidak menyukai lagi bacaan-bacaan yang mempropagandakan ide jihadisme. Yang mempropagandakan ideologi Hizbut Tahrir juga semakin lemah. Yang agak besar itu Salafi, tetapi juga masih sedikit. Yang terafiliasi dengan Ikhwanul Muslimin agak lumayan banyak.

"Tetapi yang paling banyak dibaca oleh mahasiswa dan mempengaruhi aspirasi mereka itu sebenarnya Islamisme populer. Masih ada cita-cita tentang keagungan Islam dan khususnya penerapan Islam secara menyeluruh, tapi mereka bisa mengkompromikan kecenderungan ini dengan modernitas dan globalisasi," kata Noorhaidi yang juga direktur sekolah pasca sarjana UIN.

Universitas dengan sekitar 20.000 mahasiswa ini sebelumnya dikenal paling progresif, misalnya jika dibandingkan dengan sebagian mahasiswa Universitas Gajah Mada dengan kegiatan Islam konservatif, Institut Pertanian Bogor terkait HTI dan Institut Teknologi Bandung dengan Ikhwanul Muslimin.

Dari 42 mahasiswi UIN yang bercadar ini belajar di semua fakultas, yaitu ekonomi, pendidikan, syariah dan hukum, dakwah, sains dan teknologi.

Hukum lebih ketat?

Rektor UIN Kalijaga Yudian Wahyudi mengatakan sejumlah langkah administratif dilakukan untuk memberikan keamanan kepada berbagai pihak.

"Kami berusaha untuk memberikan keamanan, bukan hanya bagi kampus serta umum, tetapi juga bagi para mahasiswi yang pada umumnya mereka itu bercadar karena mereka belum paham, karena mereka seringkali hanya dikampanye, didoktrin orang lain, sehingga nanti mereka ini terpisah dari masyarakat. Juga dalam kenyamanan administrasi. Kalau seseorang bercadar, kita kan tidak bisa memastikan apakah benar dia si A misalnya," Yudian Wahyudi menjelaskan.

Jadi apakah diperlukan hukum nasional yang lebih rinci dalam menangani gejala peningkatan radikalisme di Indonesia, mengingat pemakaian cadar sebenarnya tidak melanggar hukum Indonesia tetapi terjadi peningkatan gejala radikalisme, fundamentalisme yang bertentangan dengan nilai akademik dan NKRI?

"Tidak perlu pemerintah melakukan peraturan yang mewajibkan seperti yang dilakukan UIN. Dikembalikan kepada norma dan nilai-nilai yang berkembang di lembaga pendidikan itu sendiri," kata Abdullah Ubaid.

"Kalau di sekolah tinggi agama Islam, norma-norma yang dikembangkan semacam itu, ya itu kan merupakan konsensus bersama. Berikanlah otoritas kepada institusi pendidikan untuk bagaimana mereka meng create etika atau nilai-nilai yang harus dikembangkan di dalam dunia akademik," tambah Ubaid dari JPPI.


Tulis Komentar