Tito mengatakan, sejauh ini penyerangan terhadap pemuka agama sebagian besar direkayasa oleh para korban atau pelapor. Tito membeberkan ada 47 kasus dugaan penyerangan ulama yang diterima Polri. Dari seluruh laporan itu, hanya lima kasus yang ditemukan bukti ada tindak pidana penyerangan.
"Kejadian yang terjadi itu ada lima kasus. Kemudian ada sejumlah kasus itu tidak terjadi pidananya, tapi direkayasa," ujar Tito dalam rapat kerja antara Komisi III DPR dengan Polri di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (14/3).
Tito menjelaskan rekayasa penyerangan pemuka agama terbongkar usai kepolisian melakukan rekonstruksi penyerangan di lapangan. Dalam proses itu kepolisian menemukan bukti bahwa kasus direkayasa.
Rekayasa penyerangan itu, kata dia juga telah diakui para korban sekaligus pelapor.
"Yang bersangkutan melapor kepada polisi dianiaya, dibacok, disobek, dan lain-lain. Tapi setelah rekonstrusi ditemukan kejanggalan dan kemudian mengakui tidak terjadi kejadian itu," ujarnya.
Berdasarkan hasil penyidikan, Tito berkata, motif utama rekayasa penyerangan adalah untuk kepentingan ekonomi dan mencari perhatian. Di sisi lain, Tito menyampaikan, kepolisian menemukan adanya individu atau kelompok yang memanaskan suasana terkait penyerangan pemuka agama melalui hoaks di media sosial.
Penyebaran hoaks itu, kata Tito, yang justru terbilang sistematis karena melibatkan jaringan untuk menyebarkannya lewat media sosial.
"Yang kami melihat sistematis adalah koneksi di udara, di medsos yang menghubungkan dan menambah kasus-kasus tersebut sehingga terlihat sistematis," ujar Tito.
Mantan Kepala Densus 88 Antiteror itu mencontohkan penyebaran berita hoaks terkait penyerangan ulama, seperti memberitakan korban penyerangan yang notabene bukan ulama.
"Ada sejumlah kasus yang korban bukan ulama tapi di medsos diangkat seolah-olah itu adalah ulama," ujarnya.
Meski belum menemukan indikasi penyerangan yang tersistematis, Tito menegaskan, Polri akan mendalami lima penyerangan terhadap ulama yang belakangan diketahui semuanya dilakukan oleh orang dengan gangguan jiwa.
Tito tidak memungkiri kelainan kejiwaan para pelaku merupakan kejanggalan. Akan tetapi, hal itu tidak dijadikan dasar bahwa penyerangan ulama dilakukan secara sistematis.
"Kami melihat ada sesuatu kejanggalan. Nah iru terus kami dalami. Tapi kami tidak bisa menyimpulkan adanya koneksi satu kasus dengan kasus lain sehingga dianggap menjadi sesuatu yang sistematis," ujar Tito.
Sebelumnya Polri memastikan kabar penyerangan tokoh agama yang tersebar, khususnya di media sosial hanya hoaks. Penyebarannya diduga bermotif politik.
Kepala Satuan Tugas Nusantara Polri Inspektur Jenderal Gatot Eddy Pramono mengatakan penyebaran isu penyerangan ulama bertujuan untuk menghadirkan keresahan dan ketakutan, serta memecah belah masyarakat.
Menurutnya, tindakan ini dilakukan oleh kelompok The Family Muslim Cyber Army (MCA) yang bekerja sama dengan eks sindikat penyebar ujaran kebencian dan hoaks Saracen serta sejumlah oknum di Jawa Timur, Jawa Barat, dan Banten.
"Dari hasil pendalaman ini dilakukan dengan kelompok eks Saracen dan MCA, motifnya politik," kata Gatot saat memberikan keterangan pers di Ruang Rapat Utama Mabes Polri, Jakarta Selatan, 5 Maret 2018.
Tulis Komentar