Nasional

Cek fakta seputar pernyataan Prabowo bahwa Indonesia bubar pada 2030

Prabowo Subianto.

GILANGNEWS.COM - Cuplikan pidato Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto, yang dirilis melalui akun Facebook resmi partainya menjadi bahan perbincangan, terutama saat Indonesia menjalani tahun politik: pilkada serentak 2018 dan jelang pemilu 2019.

Wartawan BBC Indonesia, Rohmatin Bonasir dan Abraham Utama mengumpulkan data dan argumen untuk mengecek kesahihan pernyataan Prabowo tentang apa yang oleh sebagian pihak disebut sebagai 'peringatan', 'prediksi' atau 'fiksi'.

Klaim Prabowo Subianto

Mengenakan baju putih dan songkok, Prabowo tampak berapi-api ketika menyampaikan pidato. Kedua tangannya senantiasa bergerak memberikan tekanan terhadap apa yang dia ucapkan.

Prabowo pun beberapa kali menunjukkan tangannya ke arah bendera serta kader Gerindra di ruang pertemuan yang besar.

"Saudara-saudara, kita masih upacara, kita masih menyanyikan lagu kebangsaan, kita masih pakai lambang-lambang negara, gambar-gambar pendiri bangsa masih ada di sini."

"Tetapi di negara lain, mereka sudah bikin kajian-kajian di mana Republik Indonesia sudah dinyatakan tidak ada lagi tahun 2030. Bung, mereka ramalkan kita ini bubar!"

Demikian kata Prabowo dalam acara konferensi dan temu kader nasional Partai Gerindra di Bogor, Jawa Barat, Oktober tahun 2017.

Klaim balasan

Pemerintah Presiden Joko Widodo menyatakan sudah mencanangkan program Indonesia emas pada 2045, ketika usia negara ini mencapai 100 tahun.

"Justru itu. Upaya-upaya itu menuju ke sana," kata Staf Khusus Presiden bidang Komunikasi Johan Budi di Istana Kepresidenan, Rabu (21/03).

Dalam kesempatan terpisah, Wakil Presiden Presiden Jusuf Kalla sempat tertawa ketika dimintai komentar oleh para wartawan.

Kalla kemudian menjawab, "Itu kan fiksi," tetapi ia menandaskan bahwa negara bisa saja bubar karena perpecahan.

Indonesia bubar 2030?

Dalam pidatonya, Prabowo Subianto mengajukan argumen-argumen tentang penguasaan tanah dan kekayaan.

Klaim Prabowo

"Elite kita ini merasa bahwa 80% tanah seluruh negara dikuasai 1% rakyat kita, tidak apa-apa. Bahwa hampir seluruh aset dikuasai 1%, tidak apa-apa."

"Bahwa sebagian besar kekayaan kita diambil ke luar negeri, tidak tinggal di Indonesia, tidak apa-apa. Ini yang merusak bangsa kita, saudara-saudara," ujarnya.

Merujuk pernyataan Prabowo, menurut Wakil Ketua Umum Gerindra, Ferry Juliantono, rasio gini tanah nasional yang disebutnya 0,8% merupakan salah satu prasyarat bubarnya Indonesian.

Ia memaknai perkataan Prabowo sebagai peringatan.

"Artinya, 1% penduduk Indonesia menguasai 80% tanah di Indonesia. Satu persen itu segelintir," tuturnya.

Selain ketimbangan penguasaan tanah, Juliantono juga menyebut beban keuangan Indonesia telah mencapai nominal yang mengkhawatirkan.

"Sekarang sudah Rp4.000 triliun padahal APBN saja Rp 2.000 triliun. Bagaimana bayarnya?"

"Kemudian gini rasio penguasaan aset 0,43. Belum lagi sumber-sumber daya kita di bawa ke luar dalam bentuk bahan baku, bahan mentah," ucapnya.

Fakta

Dalam empat dekade terakhir rasio gini kepemilikan lahan di Indonesia ada di kisaran 0,50 sampai 0,72.

Data terakhir Badan Pusat Statistik, pada 2013 rasio gini itu mencapai 0,68. Angka itu dibaca, 1% kelompok penduduk menguasai 68% lahan di Indonesia.

Dalam laporan penelitian berjudul Enam Dekade Ketimpangan, Masalah Penguasaan Tanah di Indonesia, Dianto Bachriadi dan Gunawan Wiradi membagi ketidaksetaraan itu dalam dua kelompok.

Kajian yang disokong Konsorsium Pembaruan Agraria itu menyebut terdapat ketimpangan antara penyediaan lahan untuk kegiatan ekstraksi bertujuan profit perusahaan besar dan tanah bagi pertanian rakyat.

Menjabarkan lebih lanjut pernyataan Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto bahwa Indonesia akan bubar 12 tahun dari sekarang, Ferry Juliantono memberikan beberapa contoh.

"Sebuah negara bisa secara de facto tidak ada. Kayak Yunani negaranya tidak bubar, tapi bangkrut. Yugoslavia dan Uni Soviet, karena tidak ada keadilan, bubar."

Namun menurut Direktur Pusat Kajian Politik FISIP Universitas Indonesia, Aditya Perdana, skenario tersebut tidak logis, melihat kondisi politik dan ekonomi.

"Kalau dibandingkan antara sebelum dan sesudah Orde Baru, banyak perubahan, terlebih di dalam pembangunan politik."

"Kita bisa mengatakan dulu orang takut dan cemas kalau ingin menyampaikan aspirasinya atau berbeda pendapat sehingga kemudian takut dikejar-kejar aparat dan sebagainya," ujarnya.

Kondisi itu, kata Aditya, berbeda dengan kondisi saa ini, ketika orang bebas menyampaikan pendapat tanpa rasa takut, suasana positif dari demokrasi dan reformasi yang berjalan di Indonesia.

"Kalau ini terus dilanjutkan dan ada perkembangan infrastruktur, ekonomi dan sebagainya, saya sangat yakin Indonesia semestinya bukan bubar tapi malah lebih baik."

Pakar ekonomi dari Universitas Unika Atmajaya Jakarta, Agustinus Prasetyantoko, menyebut ketimpangan penguasaan lahan bukanlah satu-satunya faktor yang menentukan eksistensi sebuah negara.

Prasetyantoko berkata, ratio gini pengusaan lahan secara umum menunjukkan stabilitas sosial dan politik yang dicapai suatu pemerintahan.

"Kebangkrutan negara faktornya banyak sekali. Analisis itu terlalu tergesa-gesa," ucapnya.

Di era pemerintahannya, Presiden Jokowi secara reguler membagikan sertifikat tanah kepada kelompok masyarakat di berbagai daerah. Menurutnya, sertifikat vital bagi masyarakat, terutama yang tengah bersengketa lahan, baik antarwarga maupun dengan perusahaan atau pemerintah.

Prasetyantoko mengatakan pembagian ribuan sertifikat itu merupakan salah satu upaya Jokowi menurunkan ketimpangan penguasaan lahan.

Namun, ia menyebut program itu tak cukup untuk menuntaskan persoalan tersebut. Prasetyantoko mengatakan, dampak pembagian sertifikat tanah itu pun tidak instan.

"Mengatasi ketimpangan penguasaan tanah belum pada akselerasi yang perlu, tapi arahnya sudah benar, tuturnya.
Referensi Prabowo

Dalam pidatonya di depan kader Partai Gerindra, Prabowo Subianto, tidak secara spesifik menyebut nama negara atau 'kajian' yang menyatakan Indonesia bubar tahun 2030.

Akan tetapi, dalam sebuah seminar di Universitas Indonesia pada 18 September 2017, Prabowo menunjukkan tiga buku, salah satunya berjudul Ghost Fleet, karangan August Cole dan P. W. Singer.

"Ghost Fleet ini sebetulnya novel tapi ditulis oleh dua ahli strategi dan intelijen Amerika, menggambarkan sebuah skenario perang antara Cina dan Amerika tahun 2030."

"Yang menarik dari sini bagi kita hanya satu. Mereka ramalkan tahun 2030 Republik Indonesia sudah tidak ada lagi," kata Prabowo dalam seminar itu.

Ferry Juliantono, mengakui Ghost Fleet memang menjadi rujukan Prabowo, tapi menegaskan novel fiksi itu bukan satu-satunya referensi.

"Referensinya dari karya ilmiah atau dari buku nonfiksi. Semuanya mengingatkan kita. Novel fiksi kalau yang menulis orang intelijen berarti, sebenarnya pengaburan karya intelijen yang dibungkus dengan novel fiksi," kata dia.

Juliantono berkata, Prabowo sudah beberapa kali mengeluarkan peringatan serupa di hadapan kader Gerindra.

Namun mengapa cuplikan pidato sang ketua umum yang diambil dari konferensi dan temu kader nasional Gerindra pada Oktober 2017 tersebut baru diunggah ke Facebook belakangan?

"Karena relevan. Kemarin Pak Amien Rais juga menyampaikan tentang bahaya penguasaan tanah oleh segelintir orang. Kebetulan saja bersamaan," tuturnya.

Juliantono merujuk pernyataan Ketua Dewan Kehormatan Partai Amanat Nasional, Amien Rais, yang menuding pembagian sertifikat tanah oleh Jokowi merupakan kebohongan.

Amien mengklaim 74% tanah di Indonesia dikuasai kelompok tertentu, tanpa menyebut pihak yang dimaksud.
Suara warga

Sejumlah warga yang dihubungi BBC Indonesia mengungkapkan pendapat berbeda atas analisis Prabowo.

Sekar Banjarsari, warga Jakarta, menilai masyarakat memang harus memikirkan masa depan Indonesia, termasuk 12 tahun mendatang.

Dalam konteks penguasaan lahan, Sekar khawatir pembagian sertifikat tanah kepada masyarakat dilakukan tanpa pertimbangan yang matang.

"Harus dicek, apakah penerima sertifikat itu dapat mengoptimalkan lahan. Mungkin dia memang berhak, tapi apakah dia bisa memanfaatkan sebagaimana mestinya?"

"Banyak cerita, petani diberi lahan luas, tapi karena tidak punya kapabilitas mengelola lahan, malah dijual atau dikerja-samakan dengan perusahaan sawit," ujar perempuan yang aktif di advokasi hak asasi manusia ini.

Sementara itu, pelaku usaha mikro, kecil, menengah (UMKM) di Yogyakarta, Alexander Arian Febrianto, optimis perekonoiman Indonesia akan terus berkembang.

Kebangkrutan negara disebutnya mustahil terjadi karena lapangan pekerjaan terus bertambah seiring fenomena generasi muda beralih menjadi wirausahawan.

"Banyak orang membuka usaha seperti saya, perkonomian berputar. Cari uang semakin banyak caranya, termasuk bagi yang lulusan SD atau SMP," kata dia.

Menurut data BPS tahun 2017, jumlah penduduk usia kerja di Indonesia kini mencapai 189,1 juta jiwa. Sebanyak 42% di antara angkatan kerja itu berlatar belakang pendidikan SD.

Adapun, 31,9% masyarakat Indonesia bekerja di sektor pertanian, kehutanan, perburuan, dan perikanan. Dua sektor yang disebut pertama berhubungan erat dengan ketersediaan lahan.

Hasil survei lembaga Indikator Politik Indonesia pada September 2017 menunjukkan, 68,39% masyarakat puas atas kinerja pemerintah.

Hasil serupa juga dicatat oleh Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) tahun 2017: tingkat kepercayaan masyarakat pada pemerintah Indonesia pada 2016 meningkat 58% dibanding tahun 2007, di angka 80%.


Tulis Komentar