Nasional

Aksi persekusi kelompok minoritas seperti Gafatar, akankah terulang?

Ilustrasi.

GILANGNEWS.COM - Satu lembaga kajian di Indonesia mengatakan kelompok agama berisiko dicap berseberangan dengan agama utama, meski kelompok ini tegas mendukung dasar negara Pancasila.

Hal ini antara lain menimpa kelompok Gerakan Fajar Nusantara, yang lebih dikenal dengan Gafatar, yang anggotanya diusir secara paksa dan pemimpinnya dihukum penjara.

Pada 2015 lalu, ormas Gerakan Fajar Nusantara, Gafatar, yang mengklaim bergerak di bidang sosial dan budaya, mendapat penentangan di beberapa daerah. Penolakan itu berujung pada pengusiran sedikitnya 1,100 eks anggota Gafatar dari dua desa di Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat.

Pengusiran didahului dengan aksi pembakaran terhadap rumah-rumah mereka.

Adam Mirza, eks anggota Gafatar mengaku, yang terberat dari peristiwa itu adalah stigma buruk dari masyarakat ketika kembali ke daerah asal.

"Saya rasa justru yang dikatakan pelanggaran HAM bukan pada saat pembakaran ya, karena kita anggap pembakaran hanya kondisi persekusi keci. Yang lebih menyakitkan adalah 30 titik lainnya yang tidak terjadi riak di masyarakat dijemput, dan mereka dipulangkan," ujar Adam kepada wartawan, Kamis (22/03).

"Sampai di kelurahan, mereka dipajang, sampaikan ke masyarakat, "Ini lho, orang sesat," imbuh Adam kemudian.

Lembaga Indonesian Muslim Crisis Center (IMCC) melakukan penelitian terhadap 16 responden eks-Gafatar di Bogor dan Tasikmalaya, Jawa Barat terkait pengalaman mereka bergabung dengan ormas tersebut.

Direkutur IMCC, Robi Sugara, menyatakan satu kelompok rentan dikatakan bermasalah jika tidak sesuai dengan ajaran agama-agama utama.

"Kesimpulannya, pengalaman Gafatar adalah menandakan sebuh kelompok akan dinyatakan bermasalah meski pro pncasila tetapi berseberangan sengan agama atau kelompok mainstream dan atau memiliki sejarah warisan yang kelam," ujar Robi.

Wakil Ketua Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos, mengatakan bias dan prasangka buruk terhadap kelompok non-kekerasan seperti Gafatar yang dicap berbahaya oleh negara dan sesat oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI)begitu kental.

Sayangnya, tidak ada upaya dari pihak berwenang untuk mencoba memahami fenomena ini.

"Sampai kapan pun akan selalu ada kasus-kasus semacam ini dan orang-orang akan dijatuhi hukuman," ujar Bonar.

'Dosa Warisan'

Kepada BBC Indonesia, Adam menuturkan bahwa kegagalan masyarakat dalam memahami Gafatar lantaran masyarakat kadung menganggap Gafatar sebagai turunan dari kelompok yang ingin menjadikan Indonesia sebagai negara Islam, NII dan sekte Al-Qiyadah al Islamiyah, lantaran memiliki pimpinan sama, yakni Ahmad Mushaddeq.

"NII yang memiliki cita-cita membangun negara islam dan Al qiyaddah dengan kerasulam Mushaddeq. Itu yang kemudian membuat masyarakat gagal paham," ujar Adam.

Hal ini diamini oleh Bonar.

Dia memandang bias dan prasangka terhadap Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) karena figur pencetus ideologinya, Ahmad Mussadeq, yang merupakan mantan anggota Negara Islam Indonesia (NII), kelompok Islam di Indonesia yang bertujuan untuk pembentukan negara Islam di Indonesi, dan Al Qiyadah Al-Islamiyah, aliran yang dianggap sesat oleh Majelis Ulama Indonesia.

"Sehingga cukup beralasan banyak sejumlah pihak menduga ini merupakan metamorfosis [dari NII dan Al Qiyaddah],"

Padahal, meskipun memiliki tokoh yang berasal dari kedua kelompok tersebut, Gafatar cenderung melakukan transformasi pemikiran dengan menghormati Pancasila dan mengamalkan nilai-nilai agama secara universal.

"Sejak awal ada bias dan prasangka karena figur sentral, karena orang menyangka ini hanya taktik Ahmad Mushaddeq tapi orang tidak melihat transformasi dari Ahmad Musaddheq dalam melihat realitas," jelas Bonar.

Apalagi kemudian, banyak pihak mengatakan Gafatar cukup pesar pertumbuhannya. Kemudian ketika mereka hijrah ke Kalimantan. Aparat bilang ini mengingatkan mereka pada peristiwa konflik Talangsari di Lampung

"Selalu ada kecurigaan aparat keamanan dalam melihat fenomena Gafatar," imbuhnya.

Namun, pengurus MUI, Ali Abdillah, bersikukuh bahwa Gafatar merupakan metamorfosis dari kelompok yang hendak mendirikan negara Islam di Indonesia, Negara Islam Indonesia (NII) dan sekte Al-Qiyadah al Islamiyah, lantaran memiliki pimpinan sama, yakni Ahmad Mushaddeq.

"Paham keagamaan Gafatar sama dengan paham keagamaan Al Qiyadah dan Millah Abraham, pengikutnya ini mulai ada keganjilan dalam praktik keagamaan. Mereka juga mengingkari kewajiban lima waktu," ujar Ali.

Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Asfinawati menilai persekusi dan diskriminasi seperti yang terjadi pada Gafatar akan terus terulang jika aparat ke polisian justru mengakomodir kelompok yang mengusung kekerasan, atau memaksakan keyakinannya dengan kekerasan.

"Selama pasal penodaan agama masih seperti ini, masih ada, orang akan menemukan ruang untuk memidanakan orang lain," ujar Asfinawati kepada BBC Indonesia.

"Dan kita sudah lihat, ada korbannya, Ahok (mantan gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama) , dan sebelum Ahok sudah banyak, ada dosen yang sedang ceramah akademis, itu bisa kena juga. Kalau ada kesempatan pasti akan langsung digunakan oleh aktor-aktor politik," imbuhnya.

Kasus penolakan eks anggota Gafatar ini bermula dari laporan kasus hilangnya seorang perempuan dan anaknya di Yogyakarta, akhir Desember 2015 lalu.

Belakangan polisi berhasil menemukan mereka di sebuah wilayah Kalimantan. Kemudian terjadi pengusiran sedikitnya 1,100 orang bekas anggota Gafatar dari rumah mereka di Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat.

Imbas dari kasus tersebut, Ahmad Mushaddeq ditahan pihak kepolisian. Maret tahun lalu ia divonis lima tahun penjara setelah dinyatakan melakukan penodaan agama.


Tulis Komentar