Politik

Buruh dan calon presiden: diperdaya atau menggalang politik?

Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto (tengah) menghadiri deklarasi dukungan KSPI kepadanya sebagai calon peserta pemilihan presiden tahun 2019.

GILANGNEWS.COM - Prabowo Subianto agaknya mendahului Joko Widodo dalam merangkul kelompok buruh jelang pemilihan presiden tahun 2019.

Saat peringatan Hari Buruh 1 Mei, calon presiden dari Partai Gerindra itu malah mendapat dukungan dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) lewat deklarasi di Jakarta.

Wakil Ketua DPP Gerindra, Arief Puyouno, menyebut kesepakatan dengan KSPI akan mengunci setidaknya 25 juta suara untuk Prabowo, atau mencapai sekitar 35% dari target jumlah suara yang dicanangkan Prabowo untuk memenangkan pilpres.

"Buruh akan mengkampanyekan Prabowo sebagai calon presiden, sebelum dia mendaftar ke KPU," ujarnya melalui sambungan telepon, Rabu (02/05).

Adapun Presiden KSPI, Said Iqbal, menyebut anggota konfederasinya berjumlah 2,2 juta orang dan jika anggota keluarga para buruh dihitung maka Said mengkalkulasi lembaganya dapat menyumbang 5,5 juta suara untuk Prabowo.

Namun Masinton Pasaribu, politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), menganggap proyeksi kemenangan Prabowo dengan basis buruh berlebihan.

Merujuk pilpres 2014, Masinton yakin deklarasi besar-besaran KSPI yang mendukung Prabowo tak menjamin kemenangan berhubung kesepakatan politik pimpinan serikat buruh belum tentu menjalar ke akar rumput.

"Deklarasi dukungan itu aspirasi pimpinan, tidak mencerminkan buruh secara keseluruhan."

"Buruh adalah pemilih yang melek politik, tahu ke mana harus menyalurkan aspirasi, meski pimpinan serikat mengarahkan ke calon tertentu," kata Masinton.

Gerindra mengklaim Prabowo mengungguli Jokowi di wilayah basis buruh sewaktu pilpres 2014. Arief menyebut Prabowo meraup suara banyak di sentra perkebunan Sumatera Utara, Riau, dan Kalimantan Barat serta kawasan industri Banten dan Jawa Timur.

Pada 2014, selain KSPI, Prabowo juga mendapat dukungan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) pimpinan Yorrys Raweyay, politikus Golkar.

Adapun Jokowi disokong KSPSI versi Andi Gani Nena Wea dan Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) yang dipimpin Mudhofir Khamid.

Belakangan, keduanya mendapatkan kedudukan di perusahaan milik negara.

Jika Andi diserahi kursi komisaris utama sekaligus komisaris independen di PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk maka Mudhofir menjadi komisaris di PT Pos Indonesia (Persero).

Senjata makan tuan

Sejak reformasi politik tahun 1998, sebenarnya hanya pemilu 2014 yang berlangsung tanpa keikutsertaan partai buruh namun pada saat itu pula fenomena deklarasi dukungan serikat buruh untuk calon presiden menyeruak.

Sebelumnya, pada pemilu 1999, terdapat Partai Buruh, Partai Pekerja Indonesia, Partai Solidaritas Pekerja dan Partai Solidaritas Pekerja Seluruh Indonesia.

Empat tahun berikutnya muncul Partai Buruh Sosial Demokrat sedangkan pada Pemilu 2009 ada Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia serta Partai Buruh.

Dari seluruh ajang ajang itu, tak ada satupun wakil partai berbasis buruh yang berhasil mendpat kursi di DPR, yang menurut Hadi Subhan, pakar perburuhan Universitas Airlangga, sebagai kegagalan partai-partai itu sebagai representasi kepentingan buruh.

"Disparitas buruh banyak. Mustahil partai politik bisa mencerminkan buruh," kata Hadi saat dihubungi dari Jakarta.

Yang terjadi saat ini, kata Hadi, adalah pimpinan serikat dan konfederasi memanfaatkan gerakan buruh untuk merapat ke figur politik.

Dan fenomena itu terjadi tidak hanya di Jakarta, tapi hampir di seluruh daerah sehingga, tegas Hadi, "Masyarakat tak bersimpati, buruh dianggap partisan, alat politik."

"Buruh massa nyata, mereka satu nasib sehingga mudah dimobilisasi dan mudah dimanfaatkan kelompok tertentu," tutur Hadi.

Tak ingin tergerus arus kepentingan partai politik, Serikat Buruh Demokratik Kerakyatan (SEDAR) memilih independen tanpa mendukung Prabowo atau Jokowi yang digadang-gadang maju ke pilpres 2019.

Sebaliknya mereka justru mewacanakan partai buruh, bersama 41 organisasi buruh lain pada 20 April lalu di Jakarta.

"Tujuan kami membangun kekuatan politik alternatif, anggotanya bukan cuma buruh tapi masyarakat dari kelompok lain," kata Sarinah, juru bicara SEDAR.

Mengutip dasar filosofis gerakan buruh yang berlaku di belahan bumi manapun, Sarinah menyebut serikat pekerja menihilkan perbedaan agama, suku, ras, dan kecenderungan lainnya.

Nilai-nilai itu, tambah Sarinah, bertentangan dengan konstelasi politik, terutama usai Pilkada Jakarta 2017 yang dianggapnya lekat isu primordial.

"Konsep gerakan buruh internasionalisme, tak melihat perbedaan. Itulah mengapa, kami tidak bisa mendukung salah satu calon. Itu merusak konsistensi buruh. Kami berantem satu sama lain," ujarnya.

Pertanyaannya, apakah wacana itu realistis?

Sarinah menuturkan, tradisi iuran di kalangan buruh bisa menghasilkan modal tetap bagi partai buruh, yang selama ini berhasil membiayai beragam demonstrasi maupun kantor sekretariat serikat buruh.

"Partai buruh harus muncul dari buruh. Yang selama ini ada artifisial, muncul bukan sebagai gerakan massa, tidak dari bawah," kata Sarinah.

Meski begitu, Hadi Subhan menilai buruh sebenarnya tak harus menyalurkan kepentingannya melalui partai politik dengan alasan jumlah massa yang besar justru rentan membuat buruh menjadi alat politik semata.

"Yang terpenting adalah kesatuan di antara serikat buruh. Dulu mereka pernah bersatu dan akhirnya melahirkan BPJS," kata Hadi.

Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri, pemegang hak pilih pada pemilu dan pilpres 2019 mencapai 196,5 juta orang sementara Badan Pusat Statistik mencatat, hingga Februari 2017 penduduk Indonesia yang bekerja berjumlah 131,5 juta jiwa.


Tulis Komentar