Nasional

Indonesia ditetapkan sebagai poros wasatiyyat Islam dunia, tapi apakah konsep itu bisa mengatasi per

KTT Wasatiyyat ini dihadiri oleh Imam Besar Al Azhar yang berpengaruh dari Mesir, Prof Dr Ahmad Muhammad Ath-Thayeb (kiri Presiden Joko Widodo).

GILANGNEWS.COM - Pertemuan puncak para pemuka Islam dunia di Bogor berakhir Kamis (03/05) dan menghasilkan keputusan untuk membuat Indonesia sebagai poros wasatiyyat Islam dunia. Meski dinilai baik oleh sebagian kalangan, pertemuan itu dikritisi sebagai pencitraan belaka.

Lebih dari 100 pemuka dan cendekiawan Islam dunia dari 36 negara mencapai kesepakatan untuk revitalisasi wasatiyyat Islam, atau moderasi Islam.

Penggagas pertemuan, Din Syamsuddin, yang juga menjabat utusan khusus Presiden Joko Widodo untuk urusan dialog dan kerjasama antaragama dan peradaban, mengakui bahwa selama ini pengamalan wasatiyyat belum maksimal.

"Sesungguhnya itu (wasatiyyat) sudah menjadi ajaran Islam, namun pengamalannya belum maksimal dalam kehidupan umat dan oleh karena itu diperlukan dan telah disepakati adanya poros wasatiyyat Islam dunia," kata Din Syamsuddin yang pernah menjadi Ketua Umum Muhamadiyah itu.

Din menambahkan bahwa lewat poros itu "akan lahir rencana-rencana yang konkret dan nyata".

Selain itu, KTT di Bogor selama tiga hari itu juga berhasil membuat satu kesepahaman tentang pengertian wasatiyyat Islam.

"Karena paradigma wasatiyyat Islam memiliki pemahaman yang ragam di antara para ulama dan umat Muslim bahkan ada yang salah kaprah, yaitu moderasi atau moderat. Padahal wasatiyyat Islam lebih dari moderat dan moderasi," papar Din Syamsuddin.

"Yang paling penting implementasi"

Dibuka oleh Presiden Joko Widodo dan dihadiri oleh Imam Besar Al Azhar yang berpengaruh dari Mesir, Prof Dr Ahmad Muhammad Ath-Thayeb, Konsultasi Tingkat Tinggi Wasatiyyat ini disambut baik oleh pengamat Timur Tengah Dina Sulaeman, yang pernah bersekolah di Iran.

Namun Dina mendorong agar tak berhenti di sekedar pernyataan belaka.

"Yang paling penting implementasi. Tapi memang yang hadir adalah ulama. Kita tahu bahkan juga di Indonesia ulama tidak punya kekuatan politik untuk mengimplementasikan sebuah keputusan politik," ujar Dina.

Hal yang senada datang dari Pakar Islam dari Universitas Oxford Kevin Fogg.

"Tantangannya selalu adalah dalam mengimplementasikan nilai-nilai ini dalam komunitas Mulsim secara lebih luas," jawab pengajar di Pusat Studi Islam di Universitas Oxford itu ketika ditanyakan mengenai KTT Bogor itu.

Hanyalah 'branding' belaka

Sementara itu Katib Aam PBNU KH Yahya Cholil Staquf yang memberikan presentasi dalam pertemuan itu justru mengkritisi. Menurutnya, KTT itu hanyalah branding (pencitraan) belaka.

"Tidak ada sesuatu yang baru yang dihadirkan oleh pembicaraan-pembicaraan dalam KTT ini karena sebagian besar sampai sekarang masih belum punya kemauan untuk mendiskusikan masalah ini secara terbuka dan jujur," kata Yahya Staquf.

Yahya juga mengkritisi bahwa topik pembicaraan mengenai wasatiyyat itu "juga sebetulnya tidak menjawab apa-apa."

Menurut Yahya, masalah yang dihadapi dunia saat ini tidak terkait dengan wasatiyyat namun dengan bagaimana umat Islam membangun pola pikir baru dalam menghadapi konteks realitas dari Abad ke-21.

"Bukan soal apakah moderat apa tidak tapi karena terminologi moderat itu sudah menjadi begitu populer sehingga bolak-balik dijadikan landasan diskusi padahal sebetulnya jawabannya tidak di situ," pungkas Yahya.

Ide wasatiyyat Islam ini juga menurut Kevin Fogg bukanlah sama sekali baru mengingat beberapa tahun lalu di Malaysia juga digelar Gerakan Moderasi Global (Global Movement of Moderates).


Tulis Komentar