Nasional

Atlet paralimpik Jawa Barat aksi jalan kaki ke Jakarta karena protes 'wajib setor' bonus: Apa yang t

Atlet pelajar penyandang disabilitas klasifikasi tunadaksa bertanding untuk cabang atletik lari nomor 100 meter pada Pekan Paralimpik Pelajar Daerah (Pepaperda) II 2018 Jabar, Bandung, Jawa Barat.

GILANGNEWS.COM - Enam atlet paralimpik Jawa Barat yang pernah meraih medali emas di Pekan Paralimpik Nasional XV pada 2016 lalu berjalan kaki mulai Sabtu (04/08) lalu dari Gelanggang Bandung Lautan Api, Bandung, menuju Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta. Rencananya mereka akan sampai di GBK pada Selasa (07/08) untuk kemudian melakukan orasi sebagai bentuk protes.

Dalam pernyataan yang diberikan, mereka mengatakan bahwa aksi ini dilakukan sebagai protes karena pengembangan atlet peraih medali emas yang dianggap terhenti setelah mereka 'menolak memberikan setoran' kepada National Paralimpic Committee of Indonesia (NPCI) Pusat dan NPCI Jabar.

"Kasus ini sudah tujuh kali bersidang, NPCI tak pernah hadir. Mereka cuma mengutus kuasa hukumnya," kata Farid Surdin, peraih medali emas untuk cabang tolak peluru di Peparnas XV 2016.

Farid termasuk satu dari enam atlet yang berjalan kaki ke Gelora Bung Karno. Selain Farid, ada Ganjar Jatnika, Asri, Junaedi, Elda Fahmi dan Sony Satrio.

Rencananya, setibanya di GBK pada Selasa (07/08), para atlet ini akan membentangkan spanduk protes terhadap 'kematian karir mereka sebagai atlet berprestasi'.

Dalam pernyataan yang mereka berikan, para atlet ini mengatakan bahwa, 'dengan tidak menyetorkan 25 persen dari bonus yang mereka terima saat Peparnas XV, maka mereka tidak diikutsertakan pada event Asian Para Games 2018 ini'."Sebagai bentuk kekecewaan kami, kami akan kembalikan medali emas kepada Presiden. Medali emas sebagai bukti prestasi kami kaum disabilitas kalah oleh kekuasaan setoran," kata Farid mewakili teman-temannya.

'Kewajiban setoran'

Menurut pernyataan tersebut, ada keharusan para atlet paralimpik Jabar peraih medali untuk menyetor kepada NPCI Jabar sebesar 25 persen dari penerimaan bonus para atlet.

Mereka rata-rata mendapat bonus dari Pemprov Jabar dari Rp287 juta sampai Rp581 juta. Total, enam atlet tersebut memperoleh Rp1,7 miliar.

Para atlet menolak kewajiban tersebut karena bonus dianggap sebagai hak atlet yang tidak ada landasan hukumnya. Namun, menurut mereka, penolakan itu berdampak pada tidak dipanggilnya nama mereka di ajang olahraga paralimpik, yaitu ASEAN Para Games 2017 di Kuala Lumpur dan Asian Para Games 2018 di Jakarta.Para atlet menilai permintaan 25 persen dari penerimaan bonus melanggar Pasal 142 Undang Undang RI No. 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang menyatakan bahwa "Setiap orang yang ditunjuk mewakili kepentingan penyandang disabilitas dilarang melakukan tindakan yang berdampak kepada bertambah, berkurang, atau hilangnya hak kepemilikan penyandang disabilitas tanpa mendapat penetapan dari pengadilan negeri."

Pendamping para atlet disabilitas, Andri Perkasa Kantraprawira dari Gerakan Pilihan Sunda mengatakan, selama perjalanan sekitar 4 hari itu, para atlet berupaya berjalan 50 km/hari. "Kami juga sudah siapkan titik-titik istirahat di masjid," kata Andri.

Pada Sabtu (04/08) malam 21.00 WIB, setelah berjalan kaki 11 jam, para atlet tersebut sampai di kantor DPRD Kota Cimahi dan menginap di sana.

Meski melelahkan, menurut Farid, para atlet selalu menghibur diri dengan bernyanyi selama jalan kaki.

"Lagunya macam-macam, ada dangdut, pop, sampai raggae. Bahkan suara mereka boleh diadu dengan bisingnya knalpot. Kadang-kadang kita suka teriakin, gandeng (berisik)," kata Farid. Sebelumnya para atlet paralimpik ini telah melakukan aksi hukum untuk menyelesaikan kasus, termasuk mengikuti tujuh kali sidang di Pengadilan Negeri Kelas 1 Bandung, yang 'tak pernah dihadiri oleh pihak tergugat, NPCI Pusat dan NPCI Jabar'.

Pengacara para atlet, Kamaludin menyatakan, proses hukum saat ini sudah tahap mediasi.

"Hakim mediasi meminta kepada penggugat untuk mengabulkan permintaan para penggugat untuk masuk TC (Training Center) Asian Paralimpik 2018. Selama ini, setiap mediasi yang hadir hanya kuasa insidental, bukan pengambil keputusan, maka mediasi akan dilanjutkan pada 9 Agustus 2018 (hari) Kamis," kata Kamaludin.

"Mereka ingin agar NPCI bersikap sebagai bapak yang melindungi anaknya. Karir mereka sudah dimatikan, karenanya medali emas mereka balikin (ke Presiden)," ujar Kamaludin. Akan tetapi, semua itu dibantah NPCI Jawa Barat. Juru Bicara NPCI Jawa Barat, Handri Handriansyah menyatakan, pihaknya tidak memanggil para atlet lantaran mereka tidak mengikuti seleksi, bukan karena tidak membayar setoran.

"Yang ingin saya tegaskan, untuk masalah mereka tidak dipanggil ke pelatnas, sama sekali nggak ada hubungannya (dengan tidak membayar kontribusi). Mereka kan kemarin tidak ikut pelatnas karena dari tingkat pencab kabupaten kota masing-masing tidak ikut seleksi."

"Secara prosedural, seleksi itu dari mulai pengurus cabang kabupaten kota masing-masing. Kemudian, yang terpilih di kabupaten kota itu masing-masing itu dikirimkan untuk seleksi di tingkat provinsi, selanjutnya yang terpilih di provinsi dikirim ke pelatnas. Nah mereka kan dari tingkat kabupaten kota saja tidak ikut, jadi bagaimana mau bisa masuk (ke pelatnas) seperti itu," kata Handri saat dihubungi melalui telepon seluler oleh wartawan Julia Alazka di Bandung untuk BBC Indonesia.

Mengenai setoran, Handri menjelaskan, bahwa isu itu bisa dibicarakan, apalagi jika atletnya memang berprestasi.

Ia menceritakan, pada 2017, sempat ada atlit yang tidak membayar kontribusi kepada NPCI, namun karena berprestasi, atlet tersebut tetap bisa berlaga di ajang ASEAN Paragames 2017.

"Sebetulnya tinggal ngobrol, maksudnya, ini bagaimana kewajibannya, akan dipenuhi kapan, tinggal ngobrol lah. Ada kesepakatan, akhirnya masuk juga dia ke Pelatnas ASEAN Paragames Malaysia kemarin. Padahal awalnya, dia tidak menunaikan kontribusi. Jadi, artinya itu tidak ada kaitannya dengan kontribusi, tapi prestasi," jelas Handri.

Dana latihan

Handri membenarkan pihaknya memberlakukan kewajiban membayar setoran atau yang disebutnya "kontribusi" kepada para atlet peraih medali. Aturan itu tertuang dalam AD/ART NPCI, sebagai organisasi yang menaungi para atlet disabilitas.

Dalam aturan itu juga disebutkan, jika anggota tidak memenuhi kewajibannya, hak-haknya sebagai anggota juga bisa dihilangkan.

"Kalau ini kan bukan pungutan liar. Dasarnya AD/ART dan secara teknisnya itu hasil Rakernas NPCI yang ke-7 tahun 2015. Artinya, ini bukan pungutan, ini hanya kesepakatan, rereongan (urunan)," imbuh Handri.

Dana yang terkumpul, lanjut Handri, akan digunakan untuk pembinaan atlet di daerah. Apalagi, kata Handri, sebagai organisasi olahraga, NPCI baru lepas dari KONI pada 2015, sehingga belum mendapat pendanaan dari APBD.

"Artinya, NPCI baru belajar berdiri, dan tidak semua NPCI di semua provinsi, apalagi kota kabupaten sudah mendapat dukungan anggaran dari pemerintah," katanya.

Di Jawa Barat misalnya, masih ada kepengurusan di tingkat kabupaten kota yang belum mandiri secara anggaran, seperti Kabupaten Majalengka, Cirebon, Pangandaran, dan Kabupaten Bandung.

"Tahun ini kita mau ada Peparda (Pekan Paralimpik Daerah), sampai sekarang belum dapat anggaran. Bagaimana mereka mau membina dan mengirimkan kontingen ke Peparda? Hal-hal seperti ini yang dulu mendasari adanya kesepakatan di AD/ART, supaya ada dana pembinaan sebelum dukungan pemerintah mumpuni," kata Handri.

"Kalau misalnya pemerintah dukungannya sudah sesuai dengan undang-undang sistem olahraga nasional dan sesuai dengan undang-undang disabilitas, otomatis (kontribusi) akan dihilangkan dalam AD/ART."


Tulis Komentar