Nasional

Setelah 6 Tahun Berunding, Indonesia-Australia Sepakati CEPA

Presiden Joko Widodo, Jumat (31/8/2018) sore, menerima kunjungan kenegaraan Perdana Menteri Australia Scott Morrison di Istana Kepresidenan Bogor.

GILANGNEWS.COM - Setelah enam tahun berunding, Indonesia dan Australia akhirnya menyelesaikan kerjasama Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership (IA-CEPA). Penyelesaian perundingan kemitraan ditandai dengan penandatanganan nota kesepahaman antara Menteri Perdagangan, Pariwisata dan Investasi Simon Birmingham dengan Menteri Perdagangan RI Enggartiasto Lukita di Ruangan Teratai, Gedung Utama Istana Presiden Bogor, Jawa Barat, Jumat (31/8/2018). Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri Australia Scott Morrison menyaksikan penandatanganan tanda selesainya pembahasan kerangka kerjasama pada sektor ekonomi tersebut.

Ditemui usai acara, Menteri Enggartiasto menjelaskan, setelah pembahasan IA-CEPA resmi dinyatakan selesai, Indonesia dan Australia akan menerjemahkan itu ke dalam poin per poin kerjasama yang lebih formal sebagai hasil akhir. "Sekarang ini, harus dibuat bahasa hukumnya dan terjemahan ke dalam dua bahasa yang itu akan diselesaikan pada bulan November 2018 mendatang," ujar Enggartiasto.

Ekspor Lebih Mudah

Apabila IA-CEPA sudah mencapai final, Enggartiasto menjelaskan, kedua negara akan mendapatkan keuntungan di sektor ekonomi. Antara lain, tidak adanya tarif untuk barang atau jasa yang masuk. Salah satu dari ratusan produk yang dipersiapkan oleh Indonesia untuk merambah ke pasar Australia adalah mobil rakitan dalam negeri dan produk garmen. "Persyaratan atau kriteria yang diberlakukan (Australia) ke negara lain, berbeda dengan ke kita. Jadi intinya, kita bisa lebih mudah ekspor ke sana," ujar Enggartiasto.

Sementara itu, Australia juga bersiap untuk berinvestasi di Indonesia atas kerjasama IA-CEPA tersebut. Beberapa sektor yang rencananya akan disasar negeri kangguru tersebut, antara lain sektor pendidikan, kesehatan dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia.

"Di sektor kesehatan misalnya, mereka bisa saja bikin rumah sakit sesuai dengan Daftar Negatif Investasi (DNI) dengan kira-kira maksimal 67 persen kepemilihan saham milik dari mereka," papar Enggartiasto.


Tulis Komentar