Nasional

Komnas HAM Kritik Sikap Pemerintah yang Tak Penuhi Hak Warga Penghayat Kepercayaan

Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Choirul Anam di Kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, Jumat (7/9/2018).

GILANGNEWS.COM - Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia ( Komnas HAM) Mohammad Choirul Anam mengkritik sikap pemerintah yang hingga kini belum menjalankan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemenuhan hak warga penghayat kepercayaan. Dalam putusan nomor 97/PUU-XIV/2016, MK menyatakan bahwa status penghayat kepercayaan dapat dicantumkan dalam kolom agama di KK dan e-KTP tanpa perlu merinci aliran kepercayaan yang dianut. Namun, putusan tersebut belum dijalankan sepenuhnya oleh pemerintah. "Putusan MK kan seharusnya eksekutorial. Tapi yang ada kan enggak langsung eksekutorial. Masih nego sana sini, cari cara, dan sebagainya sehingga implementasinya macet," ujar Anam saat ditemui di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Jumat (19/10/2018).

Menurut Anam, sikap pemerintah tersebut menunjukkan kurangnya kepatuhan terhadap mekanisme hukum yang telah berjalan. Selain itu pemerintah juga dinilai belum memberikan perhatian terhadap pemenuhan hak asasi warga penghayat kepercayaan. "Hal itu menunjukkan kurangnya kepatuhan terhadap mekanisme hukum yang ada dan substansi HAM yang ada dalam hukum tersebut," kata Anam. Sebelumnya, Majelis Agama Kaharingan Indonesia (MAKI) melakukan audiensi dengan Komnas HAM, Selasa (16/10/2018), di Kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat, terkait pengakuan kepercayaan mereka.

MAKI meminta Komnas HAM untuk mendesak pemerintah agar Kaharingan dicantumkan dalam kolom agama di KTP elektronik dan Kartu Keluarga (KK). Menurut Ketua MAKI Pusat, Suel, selama ini, di kolom agama e-KTP penganut Kaharingan tertulis "Hindu" atau "-". Padahal, agama Kaharingan berbeda dengan agama Hindu. Selain itu, menurut mereka, putusan MK nomor 97 tentang kolom agama dalam KTP dan KK seharusnya menjadi pengakuan untuk Kaharingan sebagai kepercayaan yang kedudukannya sejajar dengan enam agama yang diakui di Indonesia. "Kami minta jawaban yang pasti. Kaharingan ini masuk pada kolom agama, tapi belum (dilaksanakan) sampai sekarang. Setelah keluar aturan MK, kami tuntut terus," kata Ketua MAKI Kalimantan Tengah, Yudha SU Rihan. Para penganut Kaharingan merasa didiskriminasi karena kepercayaannya tidak diakui. "Agama ini dari nenek moyang kami dulu, tanah leluhur kami dulu. Kami tidak dibantu, tidak dibina. Kami setanah kelahiran yang didiskriminasikan oleh pemerintah," ujar dia.


Tulis Komentar