Nasional

Ketum GP Ansor Sebut HTI Tak Percaya Diri soal Bendera

Ketum GP Ansor Yaqut Cholil Qoumas.

GILANGNEWS.COM - Pembakaran bendera di Garut oleh anggota Barisan Serba Guna (Banser), Gerakan Pemuda Ansor, Nahdlatul Ulama memantik reaksi. Bendera yang disebut mereka sebagai bendera Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) itu dinilai banyak pihak mengandung kalimat tauhid.

Sejumlah kelompok masyarakat menggelar aksi di berbagai daerah menuntut permintaan maaf. Selain itu mereka juga mendesak proses hukum berjalan.

Ketua Umum Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda (GP) Ansor Yaqut Cholil Qoumas menggelar jumpa pers terkait hal. Namun sejak hari pertama kejadian, tak ada pernyataan maaf dari GP Ansor terkait pembakaran bendera. Permintaan maaf keluar dari Yaqut karena tindakan anggotanya telah membuat kegaduhan di tengah masyarakat.

CNNIndonesia.com berkesempatan mewawancarai Yaqut kantor Pimpinan Pusat GP Ansor di kawasan Jalan Kramat Raya, Jakarta, Rabu (23/10). Ia bicara detail soal peristiwa pembakaran itu termasuk alasan yang melatarbelakangi pembakaran.

Bagaimana ceritanya sampai ada pembakaran bendera itu?

Jadi peristiwa itu terjadi di tengah-tengah perayaan hari santri nasional di Garut. Tiba-tiba ada orang yang mengikuti perayaan itu naik di atas mobil, dan dia mengibarkan bendera HTI. Tentu bagi kami ini masalah karena menyangkut soal komitmen kebangsaan.

Kemudian teman-teman Banser bertindak cepat meminta bendera itu, kemudian secara spontan membakarnya.

Jadi anak-anak Banser ini baik-baik, itu oknum yang mengibarkan bendera HTI tidak diapa-apakan dan akhirnya dilepas.

Apa alasan yang mendasari anggota Banser NU membakar bendera?

Saya kira karena persepsi atas ajaran, meskipun kami sudah memberikan protap (prosedur tetap) yang jelas dan tegas apabila menemukan bendera atau simbol-simbol HTI.

Nah, protap kita kalau ada ditemukan bendera itu, kemudian dokumentasikan, koordinasikan dengan pihak kepolisian. Nah itu protapnya, tapi mereka bakar bendera itu.

Ada dua kemungkinan saya kira, mungkin karena semangat militansi mereka yang kuat, kecintaan mereka dengan negara ini. Saya kira mereka gemas, mereka bakar.

Selain itu, karena kami ini di pesantren-pesantren diajarkan ketika menemukan potongan-potongan ayat-ayat Qur'an yang robek, jangan kemudian langsung dibuang atau dirobek, tapi bakar.

Kebetulan di bendera itu ada ayat La Illaha Illallah. Jadi sebagai santri yang baik diajarkan kalau kalimat La Illaha Illallah ini diinjak-injak atau dibuang mereka enggak rela. Maka, mereka bakar.

Saya kira kalau bendera HTI bukan karena tulisan La Illaha Illallah ini, mereka pasti akan rampas saja dan buang ke comberan saya yakin ini.

Kenapa harus dibakar?

Iya, ini untuk menjaga kesucian, saya kira. Untuk menjaga kesucian ayat-ayat Qur'an, firman-firman Allah. Dalam sobekan-sobekan ayat-ayat itu dibakar, agar hilang sama sekali. Tidak menyisakan bekas.

Sama dengan bendera HTI itu, saya kira mereka juga ingin menjaga prinsip ketauhidan mereka dengan kalimat La Illaha Illallah lafadz yang suci ini, mereka bakar agar tidak ada jejak. Saya kira dugaan saya begitu.

Pembakar bendera anggota resmi Banser?

Saya sudah konfirmasi, mereka benar anggota Banser. Mereka sudah melakukan berbagai syarat untuk masuk menjadi keanggotaan Banser 2 tahun yang lalu. Jadi mereka anggota Banser.

HTI sudah bantah itu bukan bendera mereka?

Kalau mereka menyangkal ini bukan bendera HTI, berarti mereka berusaha memanipulasi kesadaran publik dong. Kalau kita datang ke kantor HTI yang sekarang sudah ditutup itu, dalam kantornya terdapat bendera-benderanya memang seperti itu. Selain itu, mereka [HTI] kemana-mana dan di tiap acara dulu menggunakan bendera itu.

Tapi kenapa ketika mereka menghadapi masalah ini mereka malah menyangkal kalau itu bukan bendera mereka. Ini namanya manipulatif, atau mereka tidak percaya diri kalau ini adalah bendera milik mereka sendiri. Saya kira tidak bisa mereka menyangkal seperti ini.

Yang kedua, kalau mereka menyangkal bahwa ini bukan bendera mereka, sementara mereka pernah membuktikan di pengadilan bahwa itu bendera mereka, ini artinya bahwa mereka sudah berbohong di pengadilan.

Perlukah Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan Fatwa terkait bendera ini?

Saya kira tak perlu. Masak MUI perlu memfatwakan ini adalah bendera HTI. Terlalu remeh temeh.

Sudah jelas kalau kita melakukan kesadaran pada publik, bahwa ini bendera HTI bukan bendera publik atau bendera Islam. Iman itu di dalam hati, bukan di dalam bendera.

Pembakaran memicu aksi di berbagai daerah, tanggapan anda?

Saya kira sah-sah saja. Orang melakukan aksi di negara demokrasi ini ya sah-sah saja. Tetapi kan semua sudah dijelaskan dan polisi sudah memproses secara hukum. Apakah ada yang menggerakkan di belakangnya? Saya rasa kita serahkan saja pada kepolisian.

Anda duga ada yang menggerakkan aksi-aksi itu?

Bahwa ada indikasi-indikasi menggerakkan, itu juga tidak bisa dipungkiri karena buktinya pengibaran bendera HTI bukan hanya di Garut, terjadi di Sumedang, terjadi di Bandung Barat, Kota Tasikmalaya, di Karawang, di Indramayu, di Jogja, di Semarang, di Kalimantan Selatan, dan di beberapa daerah yang lain.

Ini dilakukan secara masif. Karena tidak mungkin kalau tidak ada yang tidak menggerakkan. Ini kita serahkan saja ke kepolisian.

Saya mendorong polisi supaya memproses hal ini secara hukum dan seadil-adilnya. Serahkan saja pada aparat keamanan dan semua cooling down. Saya kira begitu, sudahi kericuhan-kericuhan itu karena itu saya minta maaf atas kegaduhan-kegaduhan yang terjadi.

Pesan apa yang ingin Anda sampaikan ke masyarakat terkait peristiwa itu?

Saya atas nama pribadi, Gerakan Pemuda Ansor mewakili seluruh kader, minta maaf kepada seluruh masyarakat. Minta maaf atas kegaduhan yang sedang terjadi. Dan kami berikhtiar supaya ini kembali mendingin.

Kami tidak akan memberikan respon terhadap aksi-aksi yang terjadi. Kita hargai itu, mereka menyampaikan aspirasi itu. Jika ada pelanggaran-pelanggaran kita serahkan ke pihak kepolisian.

Tentu kita berharap, kami berharap masyarakat menurunkan tensi. Soal perbedaan politik, pandangan berpolitik dan pilihan politik itu soal biasa saja dalam negara demokrasi. Dalam tahun-tahun seperti pilpres, pileg yang hanya 5 tahunan. Jangan korbankan hubungan yang sangat panjang, hanya dengan kontestansi yang ada dalam 5 tahun sekali.


Tulis Komentar