Nasional

Siapa '200 terduga tentara' yang membakar dan merusak kantor polisi Ciracas?

Petugas kebersihan mengangkut puing perusakan dan pembakaran di Polsek Ciracas, Jakarta, yang dilakukan ratusan orang diduga tentara yang dipicu ketidakpuasan atas penanganan kasus pemukulan seorang anggota TNI.

GILANGNEWS.COM - Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), Agus Widjojo, menyebut insiden penganiayaan dan pengerusakan Polsek Ciracas di Jakarta Timur, merupakan bukti bahwa tentara Indonesia belum bisa meninggalkan "kebiasaan lama", yakni memasuki ranah sipil.

Padahal jika merujuk pada sistem negara demokrasi modern, maka tak ada alasan tentara berlaku demikian. Namun begitu, menurut Agus Widjojo, kondisi tersebut tidak lepas dari masih adanya ketidakpercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum oleh institusi Polri. Hal lain, ketidakmampuan petinggi tentara mengendalikan anak buahnya.

"Jadi mungkin ini adalah keterlembatan antispiasi daripada pimpinan untuk memperkirakan ke arah mana keadaan ini bisa berkembang dan kemudian, juga pimpinan harus percaya untuk mengendalikan dan memberikan pengertian kepada anak buahnya tentang fungsi-fungsi aparatnya," ujar Agus Widjojo kepada BBC News Indonesia, Rabu (12/12).

"Yang kita lihat sebetulnya masyarakat atau aparat itu belum sepenuhnya bisa meninggalkan kebiasaan-kebiasaan lama. Kebiasaan lama itu adalah melebarnya peran-peran militer yang memasuki wilayah masyarakat," sambungnya.

Agus Widjojo juga menyebut Panglima TNI harus menegur bawahannya jika terbukti lalai sehingga merembet pada insiden penganiayaan anggota polisi dan pengerusakan markas polres Ciracas. Bahkan kalau perlu, menyeret anggota TNI yang terlibat ke Pengadilan Militer.

"Komandan masing-masing harus menegur kalau salah dan memperbaiki kalau ada tindakan yang kurang tepat," ungkapnya.

Sebelumnya Kapendam Jaya, Kristomei Sianturi menyebut, tak ada anggota Kodam Jaya yang dilaporkan keluar dari kesatuan saat peristiwa terjadi, namun 'Dandim dan Danrem melerai situasi' di sana.

Peristiwanya terjadi pada Selasa (11/12) dini hari, ketika sekitar 200 orang merangsek masuk ke Polsek Ciracas untuk mencari terduga pelaku kasus penganiayaan terhadap seorang anggota TNI di kawasan pertokoan Arundia, Cibubur, yang terjadi sehari sebelumnya, dan menanyakan penanganannya.

"Pasti akan kita usut, maka dicari dulu akar masalahnya, apakah kasus pengerusakan ini terkait dengan penganiayaan itu," ujar Kapendam Jaya Kristomei Sianturi kepada BBC News Indonesia, Rabu (12/12).

Namun katanya pula belum ada laporan tentang anggota Kodam Jaya yang keluar dari kesatuan pada Selasa malam.

"Sampai tadi pagi laporannya, tidak ada anggota Kodam Jaya yang keluar dari kesatuan. Nah ini kita sedang selidiki," imbuhnya.

"Jadi sementara ini kita belum bisa mengambil kesimpulan terburu-buru, siapa massa yang merusak Polsek Ciracas. Nanti kalau sudah diketahui, akan disampaikan ke publik."

Di sisi lain, menjelang serangan itu, massa yang diduga para anggota TNI mendatangi Polres Ciracas, dan setelah beberapa saat, "Dandim dan Danrem melerai situasi di sana dan memerintahkan massa kembali dan massa bubar," kata Kapendam pula.

Namun begitu, jika nantinya terbukti ada keterlibatan anggota TNI, para pelaku akan diseret dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Militer. Hukumannya terberat, kata Kristomei, dipecat dari kesatuan.

"Kalau ada penganiayaan dan perusakan, pastinya dihukum kurungan. Bisa juga dipecat. Jadi ada pemberatan kalau anggota TNI," tukasnya.

Kronologi perusakan Polsek Ciracas

Pada Selasa malam (11/12) sekitar pukul 19.00 WIB, sekitar 200 orang berkumpul di Polsek Ciracas untuk menanyakan kasus pengeroyokan yang menimpa seorang anggota TNI AL di kawasan pertokoan Arundia, Cibubur.

Kapolres Jatim kemudian menyampaikan kepada massa bahwa penanganan kasus dilakukan dalam waktu dua hari dan diproses sesuai hukum yang berlaku. Massa kemudian diminta pulang oleh Dandim dan Danrem.

"Dandim dan Danrem melerai situasi di sana dan memerintahkan massa kembali dan massa bubar. Tapi ada massa gelombang kedua datang lagi ke Polsek," ujar Kapendam Jaya, Kristomei Sianturi.

Namun massa tidak puas atas penjelasan Kapolres. Kemudian sekitar pukul 00.14 WIB, mereka datang kembali. Menurut Kristomei, di saat itulah massa merusak gedung dan membakar mobil polisi.

"Nah sepertinya ada provokasi sehingga massa melakukan pengerusakan terhadap Polsek," imbuhnya.

Total ada tujuh mobil Polsek Ciracas yang rusak, begitu pula dengan gedung Mapolsek. Selain itu, empat anggota Polri mengalami luka-luka.

Di tempat terpisah, Juru Bicara Mabes Polri, Dedi Prasetyo, mengatakan situasi di lokasi sudah membaik dan Polsek Ciracas bisa beroperasi kembali. Sementara penyelidikan oleh tim gabungan Polda Metro Jaya dan Polres Ciracas atas peristiwa pengerusakan itu, belum menemukan titik terang siapa pelakunya.

"Belum bisa dipastikan (pelakunya), masih dilakukan pendalaman oleh tim."

Sedangkan terkait kasus pengeroyokan terhadap seorang anggota TNI AL, menurut Dedi Prasetyo, terus berlanjut.

Keterangan lain disampaikan Kepala Dinas Penerangan Angkatan Laut, Muhammad Zaenal yang menyebut kasus pengeroyokan terhadap anggotanya yang terjadi pada Senin (10/12) di kawasan pertokoan Arundia, sudah selesai.

"Sebetulnya itu bukan pengeroyokan, hanya salah paham kecil dan sudah dipertemukan antara pelaku dan korban. Jadi sudah damai, tidak ada masalah," ujarnya kepada BBC News Indonesia.

Hanya saja, menurut Dedi Prasetyo, jika nantinya diketahui ada anggota TNI terlibat dalam pengerusakan Polsek Ciracas, maka kasusnya akan diserahkan ke Pengadilan Militer.

"Kalau pelakunya TNI, itu bukan kewenangan polisi. Kita hanya menangani masyarakat sipil."

Di mana pelaku harus diadili?

Deputi Direktur Riset dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Wahyudi Djafar, menyebut anggota TNI yang terlibat dalam perusakan Polsek Ciracas dan penganiayaan terhadap anggota Polri, harus diadili lewat peradilan umum. Sebab, katanya, perkara yang terjadi pada Selasa (11/12) kemarin, tidak terkait dengan kedinasan.

"Kasus-kasus yang tidak ada kaitannya dengan kedinasan, semestinya diajukan ke peradilan sipil. Entah nanti penyidiknya bisa saja gabungan antara TNI dan Polri bisa dinegosiasikan," jelas Wahyudi Djafar kepada BBC News Indonesia.

Dengan begitu, kata dia, publik bisa ikut mengawasi jalannya proses hukum terhadap anggota TNI yang selama ini selalu tertutup dan jauh dari pantauan masyarakat.

Namun demikian, ia mengaku ragu bahwa TNI bakal menyerahkan anggotanya untuk diadili ke pengadilan umum. Sebab merujuk pada kasus sebelumnya, yakni penyerbuan ke Lapas Cebongan dan pembakaran Polres Baru Raja pada 2013, para pelakunya diseret ke pengadilan militer.

"Bisa dilihat bagaimana proses akuntabilitas hukum atas kasus-kasus tindak pidana yang melibatkan anggota TNI, secara umum kurang memberikan efek jera."

Karenanya, menurut Wahyudi, pemerintah dan DPR harus segera merampungkan revisi Undang-Undang Peradilan Militer. Sebab hal itu juga merupakan janji Presiden Joko Widodo yang ingin memutus mata rantai impunitas terhadap pelaku kejahatan dari kalangan militer.

Bahkan pada Desember tahun lalu, Panglima TNI Hadi Tjahjanto pernah mengatakan akan menerapkan sistem peradilan umum atau sipil kepada anggota militer yang melanggar hukum, apalagi terhadap sipil.

"Kami yang jelas siapa yang salah kami akan adili, rasa keadilan harus ada. Kami sedang bicarakan masalah harmonisasi antara KUHPM (Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer) dan KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana). Biar tidak ada pasal yang dobel. Dihukum di umum, dituntut di militer," kata Hadi di Mabes TNI, Cilangkap, Senin (11/12/2017).

Wahyudi juga menyebut, meskipun ada mekanisme pemberatan dalam KUHP Militer namun kesan 'pengistimewaan' perlakukan terhadap anggota TNI masih kental terasa. Selain itu, proses peradilan militer yang tertutup hingga tingkat kasasi, justru disinyalir meringankan hukuman bagi pelaku.

"Ada kesan pembedaan perlakukan terhadap warga negara yang semestinya sama di muka hukum," tegasnya.

"Jadi supremasi sipil masih sekadar jargon politik pasca reformasi TNI. Tapi secara sistematik, penegakan hukum dalam sistem demokrasi belum sepenuhnya terjadi dan peradilan militer ketika mengkhususkan anggotanya seperti memberikan ruang impunitas."


Tulis Komentar