Waiver dikirimkan agar kreditur tidak tergesa menganggap Garuda Indonesia berpotensi gagal bayar utang (default) karena salah satu syarat kredit (covenant) tidak bisa dipenuhi perusahaan.
Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko Garuda Indonesia Fuad Rizal mengatakan satu waiver telah dialamatkan kepada Export Development Canada (EDC), karena perusahan tidak bisa memenuhi covenant kredit yang diajukan sang kreditur.
Di dalam perjanjian kredit 2012 silam, EDC meminta Garuda Indonesia untuk memenuhi kewajiban ekuitas minimal US$800 juta selama masa kredit yang berlangsung hingga 2024 mendatang.
Sebelumnya, di dalam laporan keuangan yang dipoles, Garuda Indonesia mencatat posisi ekuitas sebesar US$910,2 juta. Namun, karena ketahuan memoles laporan keuangan, Garuda Indonesia mengubah posisi ekuitas menjadi US$730,1 juta di dalam restatement.
Artinya, posisi ekuitas yang direvisi itu tidak memenuhi syarat kredit yang diajukan oleh EDC.
"Jadi pada surat kepada EDC tertanggal 12 Juli 2019, kami sudah mengirimkan waiver. Tapi tak perlu ada yang dikhawatirkan, karena kami mengirim waiver untuk membuktikan bahwa tidak akan ada default di kami," jelas Fuad, Jumat (26/7).
Menurut dia, waiver sudah ditujukan kepada EDC untuk dua periode pelaporan keuangan, yakni 31 Desember 2018 dan 30 Juni 2019. Meski demikian, sejatinya posisi ekuitas perusahaan perlahan membaik sejak kuartal I tahun ini, sehingga perusahaan diharapkan tidak perlu menerbitkan waiver lagi di kuartal III nanti.
Berdasarkan laporan keuangan perusahaan triwulan I yang sudah disesuaikan, posisi ekuitas perusahaan mencapai US$791,1 juta atau tumbuh 8,36 persen dibanding akhir tahun lalu. "Memang kami memiliki perbaikan ekuitas di kuartal I karena kami mencetak laba bersih US$19,7 juta," kata dia.
Selain EDC, Fuad melanjutkan bahwa perusahaan tidak memiliki masalah utang dengan kreditur lainnya karena perusahaan masih menyanggupi covenant yang diajukan kreditur.
Biasanya, kreditur meminta covenant seperti rasio utang terhadap modal (Debt-to-Equity Ratio/DER) sebesar 2,5 dan posisi kas sebesar 5 persen dari total aset. Namun, posisi akhir Maret 2019 menunjukkan bahwa posisi DER sebesar 2,1 dan porsi kas mencapai 7,5 persen dari total aset.
"Sampai hari ini, masih belum ada perbankan yang batalkan kreditnya ke kami (cross default), jadi jangan dibayangkan bahwa Garuda Indonesia menuju bangkrut," jelas dia.
Sekadar informasi, Garuda Indonesia meminjam kepada EDC pada 2012 silam untuk membiayai enam unit sewa pesawat CRJ1000 Next Generation dengan nilai US$135 juta. Adapun hingga akhir 2018 lalu, sisa pembayaran cicilan dan bunga kepada EDC berjumlah US$66,43 juta. PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk mengaku telah menyampaikan permintaan keringanan syarat pinjaman (waiver) kepada salah satu kreditur, setelah perusahaan menyajikan ulang laporan keuangan tahun buku 2018 (restatement).
Tulis Komentar