Nasional

RUU Pertanahan Dinilai Memuat Belasan Pasal Bermasalah

Diskusi Rancangan Undang-Undang Pertanahan di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Jumat (6/9).

GILANGNEWS.COM - Rancangan Undang-undang Pertanahan yang disodorkan pemerintah ke DPR dinilai memuat belasan pasal yang bermasalah. Temuan ini diungkap berdasar hasil kajian mandiri sejumlah lembaga dan akademisi antara lain Komnas HAM, YLBHI, aliansi masyarakat adat AMAN dan guru besar hukum Universitas Gadjah Mada, Maria Sumardjono.

Setidaknya ada empat persoalan pokok yang kentara pada pasal-pasal bermasalah tersebut antara lain upaya penghilangan hak-hak masyarakat atas tanah, mempermudah pengusahaan lahan atas nama investasi, menutup akses masyarakat atas tanah dan pemenjaraan bagi warga yang memperjuangkan hak atas tanahnya.

Poin menyoal pemidanaan menurut Ketua Bidang Manajemen Pengetahuan YLBHI, Siti Rakhma Mary Herawati merupakan pasal yang muncul belakangan.

"Itu saat draf Juni 2019 tidak ada, kemudian ditambahkan di draf Agustus 2019. Mulanya memang ada 70 halaman saat Juni itu, tapi setelah kami kritik yang detail itu dipangkas dan menyisakan 45 halaman. Tapi masalahnya tetap sama," kata Rakhma usai Diskusi tentang Rancangan Undang-Undang Pertanahan di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Jumat (6/9).

Dalam makalah, Rakhma memaparkan ada sembilan ancaman pidana dalam draf terbaru, salah satunya pada pasal 89 berupa ancaman kriminalisasi terhadap masyarakat yang mempertahankan tanahnya dari penggusuran.

Ancaman lain terdapat pada pasal 94 yang berbunyi setiap orang atau kelompok yang mengakibatkan sengketa lahan akan dipidana paling lama 15 tahun penjara dan denda maksimal Rp15 miliar.

"Masyarakat yang sedang menyuarakan atau memperjuangkan kembalinya tanah dapat ditafsirkan sebagai melakukan pemufakatan jahat yang mengakibatkan sengketa atau konflik pertanahan," ujar Rakhma.

Rakhma yang mempelajari dan membandingkan draf Juni dengan Agustus 2019 ini mengungkapkan, pada rancangan sebelumnya masih ditemukan Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria. Namun hal itu tak lagi terdapat pada draf terbaru.

"Padahal catatan YLBHI dan 16 kantor itu selama 2018 paling banyak itu nomor satu kasus pertanahan, ada 300 konflik agraria struktural yang ditangani. Dan sebagian dari konflik agraria masa lalu yang belum terselesaikan, berupa perampasan untuk bangunan, pertambangan, kehutanan, dan sebagainya. Juga yang banyak adalah pengurusan di perkotaan," kata dia lagi.

Tak Ada Kepastian Hukum

Guru Besar Hukum Agraria UGM, Maria Sumardjono bahkan menyebut RUU Pertanahan tak mengemban misi melengkapi Undang-Undang Pokok Agraria tetapi justru banyak yang bertentangan. Lebih parah kata dia, RUU Pertanahan melenceng dari Nawacita pemerintahan Joko Widodo mengenai keadilan.

"Reforma agraria di RUU ini tidak dianggap penting, pengaturannya hanya menyalin Perpres Nomor 86 Tahun 2018. Padahal UU diharapkan memuat prinsip-prinsip reforma agraria itu apa, subjek prioritas pemanfaatan itu siapa, objek reforma agraria itu apa, dan bagaimana memecahkan konflik lahan, itu justru tidak diatur yang substansial," kata Maria Sumardjono di tengah diskusi.

Dia pun memaparkan upaya sejumlah pasal yang dianggap justru mempermulus kelompok yang memiliki posisi tawar kuat baik dari segi modal, ekonomi maupun akses politik.

Dalam draf RUU Pertanahan perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU) yang sudah diberikan selama 35 tahun, bisa diperpanjang hingga total 90 tahun.

"Perpanjangan hak itu bisa kok diberikan untuk kedua kalinya. Lho, padahal di atasnya mengatur, hanya diberikan satu kali. Eh, di bawahnya boleh diperpanjang kedua kalinya dengan pengecualian dengan mempertimbangkan umur tanaman, skala investasi, daya tarik investasi. Masalahnya siapa yang menentukan itu?" tanya Maria.

Aturan yang disebut Maria itu dimuat pada pasal 25 dalam RUU Pertanahan. Poin itu menurut Maria justru membuka celah bagi pihak manapun untuk menafsirkan itu seluas-luasnya.

"Untuk kepentingan siapa, tentu kita sudah bisa menduga. Ini undang-undang yang penuh dengan pengecualian. Jadi, kepastian hukumnya di mana?" sambung dia lagi.

Pemberian perpanjangan HGU itu dinilai menutup kemungkinan warga lokal untuk memperoleh hak atas tanah. Pasal ini juga ditengarai akan menutup peluang penyelesaian konflik lahan.

Tunda Pembahasan

Atas segala rentetan persoalan tersebut Komnas HAM merekomendasikan ke pemerintah dan DPR untuk menunda pembahasan Rancangan Undang-Undang Pertanahan. Wakil Ketua Komnas HAM Sandrayati Moniaga berpandangan pasal-pasal dalam draf undang-undang tersebut tak menyentuh upaya penyelesaian konflik lahan.

Padahal sepanjang 10 hingga 15 tahun terakhir, sengketa lahan termasuk jadi laporan pengaduan terbanyak yang sering diterima Komnas HAM.

"Kasus yang paling banyak diadukan ke Komnas HAM adalah konflik agraria. Kenapa? karena konflik agraria ini telah berdampak ke pelanggaran HAM. Ada pelanggaran ekonomi, proses budaya dan lainnya. Namun kami juga mendapat pengaduan soal dilanggarnya hak hidup, cukup banyak petani dan masyarakat adat yang meninggal akibat mempertahankan hak," kata Sandra lagi.

Sandra menjelaskan konflik agraria juga berdampak luas salah satunya rasa diteror saat dalam sengketa masuk keterlibatan aparat kepolisian dan TNI. Impak lain adalah terampasnya hak pendidikan anak-anak.

Lebih lanjut dia mengungkapkan draf undang-undang pertanahan tersebut bukan saja mengabaikan penyelesaian konflik lahan, melainkan juga langkah mundur dari segi reforma agraria.

"Bahkan kalau kami pelajari lebih dalam RUU ini berpotensi menimbulkan persoalan baru. Satu, mekanisme penyelesaian konflik agraria yang komprehensif itu tidak ada malah yang muncul pengadilan pertanahan yang ," papar Sandrayati.

"Kami melihat potensi impunitas terhadap korporasi, RUU ini kalau ditetapkan dengan rumusan yang sekarang bisa jadi semacam pemutihan atas penguasaan lahan secara ilegal oleh korporasi," lanjut dia.

Lebih jauh Sandra menilai rancangan undang-undang ini seolah menghidupkan lagi spirit kolonialisme. Ini ditunjukkan dengan salah satu aturan yakni pada pasal 36 yang mengharuskan permohonan perpanjangan lima tahun sebelum hak atas tanah berakhir.

Saat ini RUU pertanahan tengah dibahas antara pemerintah dan DPR. Pemerintah menargetkan pembahasan draf perundangan ini ramping pada September 2019

"Jadi ketika satu tanah tidak bisa dibuktikan siapa pemiliknya, maka negara otomatis negara memilikinya. Jadi yang disebut, ada syarat beberapa tahun yang tidak mendaftarkan maka jadi tanah negara itu sama dengan Domein Verklaring atau praktik politik agraria zaman kolonial. Ngeri kali ini namanya," tukas Sandrayati.


Tulis Komentar