Nasional

Perang Lawan Corona dan Benteng Terakhir Krisis Pangan

Ilustrasi.

GILANGNEWS.COM - Resonansi krisis pangan kian nyaring.

Sinyalemen ini pada awalnya dilontarkan Kepala Ekonomi dan Asisten Direktur Departemen Ekonomi dan Pembangunan Sosial Badan Pangan dan Pertanian Dunia atau FAO, Maximo Torero Cullen, pertengahan April lalu.

Cullen mengingatkan penerapan karantina wilayah atau lockdown untuk memerangi virus corona bisa membuat dunia krisis pangan. Karena itulah ia meminta tiap negara tidak membatasi jalur perdagangan. Selain memastikan pasokan domestik masing-masing, bagi Cullen, penting bagi pemerintah menggalang kerja sama lintas negara untuk mengamankan pasokan.

Cullen juga menyindir negara-negara produsen-eksportir pangan yang mementingkan kepentingan domestik ketimbang pasar dunia dengan menerapkan karantina. Langkah ini dinilainya bisa memicu kepanikan.

Contohnya Vietnam, negara yang tercatat sukses memerangi corona, tapi memutuskan menutup ekspor beras.

Selama ini, Vietnam bersama Thailand merupakan pemain utama ekspor beras dunia. Jika kebijakan Vietnam diikuti oleh negara eksportir pangan lainnya, pasokan lintas negara dan juga ke pasar dunia bakal turun. Ini bakal memukul negara importir pangan yang ujung-ujungnya memicu krisis pangan.

Ancaman krisis pangan kali ini berbeda dari 2007-2008. Saat itu krisis pangan terjadi karena produksi pangan turun dan daya beli warga rendah. Juga ada kegagalan produksi pangan dibarengi ekspektasi penurunan suplai.

Lalu, negara-negara produsen pangan dan eksportir pangan dunia membuat kebijakan yang generik: menutup ekspor. Akibatnya, pasar panik dan harga-harga pangan meroket. Ditambah krisis energi dan spekulasi, krisis pangan kian mendalam.

Pandemi corona ini memunculkan masalah berbeda.

Produksi pangan, baik biji-bijian (gandum, jagung, kedele, beras) maupun buah-sayur, stabil. Tak ada laporan gagal panen. Potensi krisis pangan justru berasal dari guncangan pasokan pada logistik pangan.

Ini menyangkut aktivitas rumit yang menghubungkan mulai dari produsen di lahan, aktivitas pemrosesan, logistik, pergudangan hingga jasa penjualan atau retail di hilir.

Implikasi serius corona tak hanya mengancam produksi di hulu sebagai konsekuensi lanjutan kebijakan physical distancing atau karantina, tetapi juga mengganggu pengolahan pangan yang padat karya di tengah, dan juga telah memutus (membatasi) lalu-lintas perhubungan dan perdagangan antarbangsa di hilir.

FAO memperkirakan, guncangan ini bakal terjadi pada April-Mei.

Bagi negara-negara importir pangan, mereka bakal menerima pukulan ganda.

Pertama, tidak ada jaminan suplai karena rantai pasok pangan yang terganggu. Pangan memang tersedia -bahkan lebih dari cukup-tapi tidak bisa dialirkan ke negara-negara importir yang memerlukan karena hambatan transportasi dan karantina. Kedua, harga pangan menjadi mahal seiring terdepresiasinya mata uang negara-negara importir terhadap dolar AS.

Sebagai negara impor pangan yang cukup besar --pada 2018 sebesar US$16,8 miliar-- nasib Indonesia sejatinya tak lebih baik dari negara-negara jazirah Arab. Daya tahan Indonesia dari ancaman krisis ini bisa diukur dari sejumlah indikator.

Dalam Global Food Security Index 2019, Indonesia ada di urutan 62 dunia dari 113 negara. Di kawasan Asia Tenggara, ranking Indonesia hanya lebih baik dari Filipina, Kamboja, Myanmar, dan Laos. Indonesia menghadapi persoalan serius pada komponen Natural Resources and Resiliences, serta keamanan dan kualitas pangan.

Sebagai pembanding, Italia yang memiliki ranking 23 dunia tak terhindarkan dari kasus penjarahan toko karena kondisi kelaparan di beberapa tempat ketika kebijakan lockdown dilakukan.

Indikator lainnya adalah Global Hunger Index 2019, Indonesia berada di urutan ke-70 dari 117 negara di dunia.

Di kawasan ASEAN, posisi Indonesia (70) kalah dari Thailand (46), Malaysia (57), Vietnam (62), dan Myanmar (69). Indonesia hanya lebih baik dari Filipina (71), Kamboja (78), Laos (83), dan Bangladesh (86). Ini karena jumlah stunting, anak kurus, dan kurang gizi masih sangat tinggi. Meskipun terus mengalami perbaikan, status Indeks Kelaparan Global Indonesia masih masuk kategori serius.
Petani memanen padi di area persawahan Desa Hutabohu, Kabupaten Gorontalo, Gorontalo, Selasa (24/3/2020). ANTARA FOTO/Adiwinata SolihinSejumlah indikator menunjukkan Indonesia berpotensi mengalami krisis pangan pada pandemi corona. (ANTARAFOTO/Adiwinata Solihin)

Potensi krisis pangan diperkirakan bakal menimpa wilayah yang rentan dan paling rentan pangan.

Menurut Indeks Ketahanan Pangan 2018, saat ini masih ada 81 dari 416 kabupaten (19 persen) yang masuk rentan pangan prioritas 1-3 alias menjadi perhatian serius.

Sebagian besar berada di Papua, Papua Barat, Maluku, dan Nusa Tenggara Timur. Wilayah ini dicirikan oleh rasio konsumsi per kapita terhadap produksi bersih per kapita yang amat tinggi, tingginya balita stunting (33,72 persen), dan warga miskin (23,19 persen).

Krisis juga potensial terjadi pada 7 dari 98 kota (7,14 persen) kota rentan pangan prioritas 1-3. Meliputi Subulussalam dan Tual (prioritas 1), Gunung Sitoli dan Kota Pagar Alam (prioritas 2), dan Tanjung Balai, Lubuk Linggau dan Tidore Kepuluan (prioritas 3).

Kota ini dicirikan oleh pengeluaran pangan terhadap total pengeluaran amat tinggi, akses rumah tangga pada air bersih masih rendah (42,45 persen), dan tingginya angka balita stunting (29 persen).

Tatkala krisis pangan mengintai di masa pandemi corona, FAO merekomendasikan prioritas harus diberikan kepada penduduk yang rentan, baik rentan miskin maupun rentan sakit. Caranya, menyediakan bantuan pangan darurat, meningkatkan akses terhadap jaring pengaman sosial, dan intervensi gizi. Lalu, meningkatkan ketersediaan pangan dari produksi petani kecil/keluarga.

Sejauh ini pemerintah telah mengalokasikan Rp110 trilliun dari Rp405 triliun untuk jaring pengaman sosial.

Nilai dan sasaran Program Keluarga Harapan (PKH) diperluas, kartu sembako, subsidi listrik, dan Kartu Prakerja. Sasaran PKH diperluas dari 9,2 juta keluarga jadi 10 juta. Besaran manfaat naik 25%. Penerima manfaat Kartu Sembako diperluas dari 15,2 juta jadi 20 juta penerima. Nilai manfaat naik 30%, dari Rp150.000 per keluarga per bulan menjadi Rp200.000.

Langkah-langkah mitigasi ini baik tapi tidak cukup. Terutama terkait ancaman krisis pangan.

Sampai saat ini belum ada stimulus sepeserpun untuk sektor pertanian. Padahal, tatkala perang terhadap corona berlangsung dengan kebijakan pembatasan sosial berskala besar, kecukupan pangan bergizi yang menjamin imunitas tubuh tetap harus terjaga. Karena itu, perlu jaminan akses petani terhadap input dan pasar.

Rantai pasok tidak boleh terganggu hingga level bawah agar aktivitas produksi tetap berlangsung, dan kebutuhan pangan konsumen terpenuhi.

Di China misalnya. Saat corona merebak di Hubei, muncul cara-cara tak biasa mengatasi persoalan krisis pangan.

Seperti memperkenalkan konsep 'keranjang sayur' untuk interkoneksi petani dan pedagang lewat rantai dingin; kolaborasi provinsi, daerah otonom, dan kota membentuk platform jaminan pasokan; memasukkan biji-bijian, minyak, sayuran, daging, telur, susu, dan produk akuatik dalam kebutuhan harian saat pandemi; mendanai perusahaan distribusi pertanian, dan yang lain. Ini semua dilakukan untuk menjamin produksi dan rantai pasok berjalan.

Perlu langkah-langkah tak biasa sebagai perisai apabila krisis pangan benar-benar terjadi.

Tak ada salahnya pemerintah mulai menggerakkan pengembangan pangan lokal berbasis rumah tangga dengan memanfaatkan pekarangan, kebun, tegalan, dan tanah telantar dengan berbagai model sistem budidaya. Di kota maupun di desa. Prioritas untuk tanaman yang cepat berproduksi dan bisa cepat dituai hasilnya, seperti sayuran dan umbi-umbian.

Ketersediaan pangan di level rumah tangga ini menjadi bantalan apabila krisis pangan meledak. Tatkala pangan impor tidak tersedia karena hambatan rantai pasok, pangan lokal bisa jadi benteng terakhir berperang melawan krisis pendapatan dan corona.


Tulis Komentar