Nasional

Analisa Gelombang Tiga Covid-19 Diprediksi Terjadi Bulan Depan

Klaster Covid-19 di Perkantoran.

GILANGNEWS.COM - Indonesia diperkirakan akan mengalami gelombang ketiga pandemi Covid-19. Puncaknya diprediksi pada pekan kedua dan ketiga Februari 2022. Pada waktu itu, kemungkinan kasus hari Covid-19 mencapai 40.000 sampai 55.000.

Kementerian Kesehatan mengungkapkan ada tiga variabel yang akan memicu gelombang ketiga pandemi Covid-19 di Indonesia. Apa saja?

Variabel pertama yaitu, rendahnya penerapan protokol kesehatan. Kedua, testing (pemeriksaan) dan tracing (penelusuran) kontak erat Covid-19 menurun. Ketiga, mobilitas penduduk meningkat.

"Mobilitas kini lebih dari 10 persen," kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmidzi kepada wartawan, Jumat (14/1).

Kepatuhan Prokes Menurun

Berdasarkan hasil monitoring Satuan Tugas Penanganan Covid-19, kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan memang menurun, baik menggunakan masker maupun menjaga jarak.

Data 26 Desember 2021, kepatuhan memakai masker mencapai 92,15 persen. Sementara pada 2 Januari 2022 turun menjadi 92,14 persen. Kepatuhan menjaga jarak juga menurun jadi 90,38 persen pada 2 Januari 2022, dari sebelumnya mencapai 90,56 persen.

Sementara data testing Covid-19 pada 12 Januari 2022 menunjukkan, testing mingguan sebesar 0,29 persen. Di tanggal yang sama, tracing kontak erat Covid-19 tercatat 11,69 persen.

Epidemiolog dari Centre for Environmental and Population Health Griffith University Australia, Dicky Budiman mengatakan peningkatan kasus Covid-19 yang terjadi secara terus menerus saat ini menandakan awal gelombang ketiga pandemi. Sejak awal Januari 2022, kasus Covid-19 di Tanah Air konsisten meningkat seiring dengan merebaknya varian Omicron.

Menurutnya, gelombang ketiga ini disebabkan banyak hal. Di antaranya, masih ada populasi yang belum memiliki imunitas, munculnya varian Covid-19 yang infeksius, mobilitas penduduk sangat masif, dan intervensi pemerintah menurun.

Dokter lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran Bandung ini memprediksi, puncak gelombang ketiga pandemi Covid-19 di Indonesia bisa terjadi pada akhir Februari, Maret atau April 2022. Namun, puncaknya diperkirakan tidak setinggi gelombang kedua pada Juli 2021.

"Saat ini, saya masih melihat potensi puncaknya itu masih moderat. Artinya, tidak seperti Delta (gelombang kedua). Tapi setengah dari Delta itu bisa, potensi itu ada," ucapnya.

Kerja Keras Cegah Gelombang Ketiga

Dicky menyarankan pemerintah segera mencegah terjadinya kondisi terburuk gelombang ketiga pandemi Covid-19. Sejumlah hal bisa dilakukan, misalnya mempercepat vaksinasi dosis lengkap sejalan dengan memberikan booster kepada kelompok berisiko tinggi terhadap Covid-19.

Kemudian memperkuat pengawasan di pintu masuk pelaku perjalanan luar negeri, memperketat skrining, karantina, serta membatasi warga yang ingin melakukan perjalanan keluar negeri.

"Di dalam negeri sendiri 5M, 3T ini jangan kendor," ujarnya.

Terpisah, Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19, Wiku Adisasmito menyebut kasus Covid-19 di Indonesia mengalami kenaikan selama dua minggu berturut-turut. Data tiga pekan sebelumnya masih 1.200, kemudian naik menjadi 1.400 kasus.

"Pada minggu terakhir mencapai 3.000 (kasus Covid-19). Bahkan angka pada minggu terakhir naik lebih dari 2 kali lipat kasus pada minggu sebelumnya," kata Wiku, Selasa (11/1).

Menurut Wiku, kenaikan kasus Covid-19 mingguan ini harus terus diantisipasi. Mengingat potensi peningkatan kasus akibat libur panjang Natal dan Tahun Baru masih akan terjadi.

Sebelum melaporkan situasi tersebut, Wiku sempat mengklaim Indonesia berhasil melewati libur Natal 2021 dan Tahun Baru 2022 tanpa lonjakan kasus Covid-19. Kondisi ini dinilai berbeda dengan libur Natal 2020 dan Tahun Baru 2021 yang memicu gelombang pertama pandemi Covid-19.

Wiku menuturkan, berkaca pada situasi November 2020 sampai Januari 2021, kasus positif Covid-19 konsisten meningkat. Pada minggu pertama Januari 2021, kasus Covid-19 mencapai 52.694.

Sementara pada saat ini, kasus Covid-19 justru konsisten menurun sejak Juli 2021 hingga awal Januari 2022. Pada pekan pertama Januari 2022, kasus Covid-19 hanya meningkat 1.409.

"Ini jauh lebih sedikit dibandingkan awal tahun lalu yang mencapai 52.694 kasus," jelasnya.

Kesiapan Pemerintah Hadapi Gelombang 3 Covid

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin memastikan pemerintah sudah menyiapkan fasilitas kesehatan untuk mengantisipasi lonjakan kasus Covid-19 varian Omicron. Saat ini, sudah ada 80.000 tempat tidur di rumah sakit rujukan Covid-19.

Namun, 3.000 tempat tidur di antaranya sudah diisi pasien Covid-19. Rencananya, pemerintah akan menambah tempat tidur di rumah sakit menjadi 150.000.

"Kita masih bisa meningkatkan jumlah tempat tidur rumah sakitnya ke angka 150.000," kata Budi, Selasa (11/1) malam.

Budi menyebut, pemerintah juga sudah menyiapkan obat Covid-19 Molnupiravir produksi Merck sebanyak 400.000 tablet dan protokol kesehatan baru untuk perawatan pasien di rumah sakit. Sejalan dengan itu, pemerintah sudah mendistribusikan lebih dari 16.000 oksigen generator ke seluruh fasilitas kesehatan dan memasang lebih dari 36 oksigen konsentrator di rumah sakit.

Menurut Budi, kemungkinan kasus Omicron akan meningkat cepat dan banyak. Berdasarkan penelitian, sebanyak 30 sampai 40 persen pasien Covid-19 masuk rumah sakit.

Dilihat dari karakteristiknya, Omicron memiliki tingkat penularan sangat cepat. Namun, gejala yang ditimbulkan relatif lebih ringan.

"Tapi kita harus tetap waspada dan hati-hati. Kita harus siaga dan tidak perlu panik karena kasus yang masuk rumah sakit jauh lebih rendah dibandingkan dengan sebelumnya," ucapnya.

Mantan Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini mengatakan sebetulnya cara menghadapi Omicron sama seperti varian lainnya. Pertama, menjalankan protokol kesehatan dengan ketat, terutama menggunakan masker.

Kedua, memperketat surveilans. Jika warga merasakan kondisi tubuhnya tidak sehat, harus segera melakukan tes Polymerase Chain Reaction (PCR). Ketiga, segera mengikuti vaksinasi Covid-19.

"Terutama orang tua kita, para lansia yang belum divaksin, harus segera divaksin. Mereka adalah orang-orang yang harus kita lindungi karena merupakan faktor yang paling lemah untuk masuk ke rumah sakit," katanya mengakhiri.

Seiring dengan penyediaan fasilitas kesehatan, tenaga kesehatan juga mempersiapkan diri. Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) mengaku terus melakukan rapat koordinasi dengan seluruh cabang dan wilayah untuk bersiap siaga.

"PB IDI monitoring terus," kata Ketua Umum PB IDI, Daeng M Faqih, kepada merdeka.com, Kamis (13/1).

Daeng menjelaskan, setelah kasus Omicron terdeteksi pertama kali di Indonesia, PB IDI mengeluarkan surat perintah organisasi. Surat ditujukan kepada seluruh dokter Indonesia, Ketua IDI Cabang, Ketua IDI Wilayah, Ketua Perhimpunan, dan Ketua Keseminatan.

Dalam surat tersebut, ada sembilan hal yang ditekankan PB IDI. Di antaranya, meminta dokter meningkatkan kewaspadaan dan siaga menghadapi kemungkinan adanya lonjakan kasus.

Termasuk mendorong diberlakukan kembali triase dengan benar atau sempurna di fasilitas pelayanan kesehatan. Triase tidak hanya didasarkan pada pengukuran suhu tubuh saja, namun juga dari anamnesis gejala-gejala yang lain.

Berbeda dengan varian lain sebelumnya, gejala utama Omicron bukan demam. Gejala yang banyak ditemukan pada pasien terinfeksi Omicron adalah batuk, lelah (fatique), sakit tenggorokan, selesma atau hidung meler (runny nose/rhinore), hidung tersumbat, sakit kepala, demam, mual, muntah, diare, sesak napas, anosmia, dan agesia.

Kemudian, PB IDI meminta dokter segera mendapatkan vaksinasi covid-19, termasuk suntikan ketiga. Suntikan ketiga dapat diberikan baik dengan vaksin homolog maupun heterolog, sesuai dengan ketersediaan vaksin.

Bagi yang belum mendapatkan vaksinasi dianjurkan untuk membatasi atau menghindari kegiatan yang berisiko tinggi, termasuk praktik. Melakukan praktik tanpa vaksinasi akan membahayakan diri sendiri, pasien dan masyarakat. Bagi dokter yang kondisinya tidak layak vaksin, bila terpaksa melakukan kegiatan sebagai dokter perlu proteksi tambahan, misalnya hazmat.

Selanjutnya, dokter harus tetap menjalankan protokol kesehatan dengan disiplin yang ketat. Selain itu, PB IDI meminta dokter memakai alat pelindung diri (APD) sesuai pedoman yang berlaku saat melakukan tugas profesional.

Terutama lebih dianjurkan menggunakan masker N95, bila tidak tersedia, dapat menggunakan KN95. Bila keduanya tidak tersedia, masih diperkenankan memakai masker bedah. Masker wajib digunakan dengan benar, menggunakan goggle atau faceshield dan gown, serta enggunakan hazmat bila melakukan tindakan.

Selain itu, dokter harus melaksanakan cuci tangan dengan sabun secara benar sesering mungkin pada saat melakukan kegiatan profesional. Menjalankan pemeriksaan swab rutin, swab antigen atau PCR, setiap dua minggu sekali.

Apabila melihat timbulnya kluster baru Covid-19, dokter segera melaporkan. Temuan kluster baru perlu dilanjutkan dengan Whole Genom Sequensing (WGS), setelah PCR.

Anjuran kasus terkonfirmasi Covid-19 yang wajib dilakukan WGS bila ada riwayat perjalanan dari luar negeri dalam 14 hari sebelumnya, ada riwayat kontak dengan orang terinfeksi Omicron, kasus suspek dan ada riwayat kontak dengan orang yang pulang dari luar negeri dalam 14 hari terakhir. Kemudian, bila muncul kluster baru dalam jumlah besar, ada kegagalan terapi, penyintas yang kemudian tertular kembali, dan bila menggunakan PCR yang non-S GenTarget Failure (SGTF), maka WGS dikirim berdasarkan kriteria Litbangkes.

Bila menggunakan PCR yang SGTF, maka tetap dilanjutkan dengan WGS. Terakhir, PB IDI meminta penatalaksana pasien terkonfirmasi maupun suspek Covid-19 sesuai dengan pedoman yang ada. Daeng mengatakan, perintah ini masih berlaku hingga saat ini.


Tulis Komentar