Nasional

Mengurai Akar Persoalan Munculnya Kasus Asusila Terhadap Santri

Ilustrasi.

GILANGNEWS.COM - Berbagai kasus kekerasan seksual yang melibatkan pihak pengasuh, atau pemimpin, maupun pihak lain di lingkungan pondok pesantren akhir-akhir ini telah mencoreng institusi yang bergerak di bidang pendidikan keagamaan itu. Hal ini pun berakibat adanya krisis kepercayaan masyarakat terhadap pondok-pondok pesantren yang ada.

Kasus Herry Wirawan, pemimpin Pondok Pesantren Tahfidz Madani di Bandung, Jawa Barat yang melakukan kekerasan seksual terhadap 13 santriwatinya, sempat membuat shock publik. Sebab, sebagai pemimpin dari sebuah institusi pendidikan keagamaan yang seharusnya menjadi panutan anak didiknya, justru tega 'memakan' anaknya sendiri.

Akibatnya, ia pun dijatuhi hukuman mati oleh Pengadilan Tinggi Bandung. Vonis ini lebih berat dibandingkan dengan hukuman seumur hidup yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Bandung.

Lain Herry lain pula Mochammad Subchi Azal Tsani (MSAT) alias Bechi. Putra kiai dari Pondok Pesantren Shiddiqiyyah Jombang ini didakwa jaksa melakukan kekerasan seksual terhadap seorang santrinya.

Kasus Bechi ini sendiri sempat memantik perhatian publik, lantaran kekerasan seksual yang didakwakan padanya disebut juga dilakukan di lingkungan pondok pesantren. Kasus ini sendiri masih berjalan persidangannya di Pengadilan Negeri Surabaya hingga saat ini.

Lalu, bagaimana fenomena ini berimbas pada pondok-pondok pesantren lainnya? Sekretaris Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur, KH Hasan Ubaidillah mengatakan, hal-hal di atas disebutnya bersifat kasuistik saja. Sehingga, ia menyebut perlu membedakan antara pondok pesantren dengan aktor-aktor yang melakukan kejahatan seksual.

"Itu sifatnya kan sangat kasuistik, perlu dibedakan ponpes dengan aktor-aktor yang melakukan kejahatan seksual semacam itu," tegas Hasan saat dikonfirmasi merdeka.com, Jumat (5/8).

Dia menambahkan, peran media menurutnya cukup untuk dapat memberikan informasi yang berimbang. Sebab, ketika terjadi ekspose besar-besaran terkait dengan kejahatan yang dilakukan oleh oknum-oknum yang berkaitan dengan pondok tertentu, menjadikan opini yang berkembang di masyarakat turut mempengaruhi.

"Media penting sekali untuk dapat memberikan informasi yang berimbang, kemarin kan kesannya ada ekspose besar-besaran terkait dengan kejahatan yang dilakukan oleh oknum. Sehingga ekspose pemberitaan yang begitu luar biasa itu mempengaruhi opini masyarakat," ujarnya.

Ia menyebut, model pesantren utamanya di Jawa Timur ini cukup banyak variannya. Sehingga, ketika terjadi persoalan pada salah satu pesantren, kasuistiknya tidak akan mewakili pesantren yang lain.

"Harusnya ada pemberitaan yang berimbang lah. Sehingga masyarakat benar-benar memahami, mengerti, apa sih sebenarnya ada di pesantren itu. Itu hanya kasuistik yang tidak sampai 1 persen dari keseluruhan jumlah pesantren di Jatim," tandasnya

Jatim, tambahnya, menurut data Kementerian Agama (Kemenag) memiliki lebih dari 7.500 pesantren. Hal itu berarti, imbas dari perkara salah satu Ponpes di Jombang beberapa waktu lalu, dianggap hanya memiliki prosentase yang tidak lebih dari satu persen.

"Kalau data RMI itukan lebih dari 12 ribu Ponpes, tidak sampai 1 persennya. Nol koma sekian persen saja. Tapi kan imbasnya pada opini masyarakat yang begitu luar biasa. Ini yang harus didudukkan persoalannya," tegasnya.

Ia pun men-declare, bahwa masih banyak masyarakat yang masih percaya pada pendidikan di Ponpes, meski beberapa kali didera persoalan yang diakibatkan oleh pihak tidak bertanggung jawab. Dia pun berpendapat, organisasi seperti Nahdlatul Ulama (NU) harus bisa memberikan opini yang menarik dan menyegarkan, agar dapat mengikis persepsi negatif di masyarakat.

"Saya kira banyak masyarakat yang masih sangat percaya terhadap pendidikan di Ponpes. Sehingga peran NU, harus memberikan opini yang menarik dan menyegarkan supaya bisa mengikis persepsi negatif di masyarakat," tambahnya.

Disinggung soal apakah ada kelemahan sistem di Pondok pesantren sehingga membuat leluasa pihak tertentu untuk dapat melakukan kekerasan seksual? Ulama yang menjabat sebagai Sekretaris PWNU Jatim ini mengatakan, jika sistem di Ponpes sebenarnya sudah cukup baik. Namun, ia menengarai persoalan tidak terjadi pada sistem yang lemah. Namun, persoalan dapat timbul pada diri si pelaku.

Persoalan-persoalan yang melibatkan tokoh agama seperti ini bukanlah pertama kali terjadi. Jika dikaji secara historis, pada zaman Nabi Musa, disebutnya ada nama Bal'am bin Ba'ura. Ia adalah pengikut Nabi Musa, seorang tokoh agama yang doanya selalu dikabulkan oleh Allah. Namun, tokoh ini karena nafsunya, terjerembab pada hal-hal yang merugikannya.

"Pada zaman Nabi Musa itu ada namanya Bal'am bin Ba'ura yang mendapatkan keistimewaan. Tokoh agama yang doanya selalu dikabulkan oleh Allah. Tapi ketika ada bujuk rayu dari istrinya dari bisikan iblis, akhirnya kan kemudian terpengaruh juga. Orang-orang yang istimewa, yang memang karena nafsunya terjerembab pada hal-hal seperti itu. Itu sudah sejak dulu. Maka ketika ada kejadian semacam ini di dunia pesantren sekalipun maka itu terlepas dari institusi pendidikan keagamaannya, itu murni oknumnya," ujarnya.

Lantas mengapa para pelaku di lingkungan Ponpes justru adalah orang-orang yang memiliki keistimewaan dalam hal kedudukan? Ia menyebut, bisa jadi keistimewaan yang dimiliki orang tersebut memang disalahgunakan. Namun ia memastikan, jika orang tersebut benar-benar paham akan agama, tentu tidak akan mudah terjerumus sedemikian rupa.

"Kalau dia paham agama, maka ajaran-ajaran agama kan sudah jelas, panduannya jelas. Tidak perlu melakukan pelecehan seksual, pemerkosaan dan sebagainya. Ada mekanismenya yaitu menikah, makanya kemudian agama memberikan jalan pada penganut-penganutnya khususnya yang beragama Islam. Ketika ingin menyalurkan syahwatnya, ya itu menikah. Walaupun nikahnya tidak tercatatkan misalnya, tapi secara syariat agama itu kan diperbolehkan, kan dibenarkan. Sehingga ketika melakukan hubungan seksual itu dalam koridor legalitas syariat atau agama," tandasnya.

Ia menegaskan, jika si oknum benar-benar paham agama namun tetap melakukan kekerasan seksual seperti itu, maka bukan lagi persoalan nalar atau pun hati nurani yang berbicara. Namun, ia menyebutnya jika si oknum lebih suka mengedepankan nafsunya. Jika sudah seperti itu, maka hal itu sudah menjadi tanggung jawab masing-masing.

"Kalau benar-benar paham mengerti hakikat dari pada ajaran agama, tapi kalau dia kemudian melakukan kekerasan seksual seperti itu, maka itu bukan nalar dan hati nuraninya yang berbicara, tapi sudah nafsunya. Kalau sudah seperti itu ya tanggung jawab perseorangan masing-masing. Kalau benar-benar orang yang istimewa loh ya, orang istimewa kemudian memiliki otoritas, maka dia akan menggunakan otoritasnya atau keistimewaannya itu untuk mempengaruhi orang-orang sekitarnya. Kan dia menginginkan sesuatu misalnya menikah dengan santrinya, itu tidak dilarang dan itu banyak terjadi di Ponpes bagaimana seorang yang berstatus kiai menikahi santrinya sendiri. Dan itu banyaklah kasus-kasus seperti itu," ungkapnya.

Lantas, bagaimana meminimalisir kekerasan di pesantren? Ia menyebut, saat ini sistem di Ponpes itu sudah baik. Baik itu sistim pendidikannya, maupun sistim pengawasannya. Hanya saja, ia menengarai ada sedikit hal yang menurutnya menjadi kelemahan pada Ponpes-Ponpes yang ada.

"Di sana (Ponpes) yang kurang tumbuh adalah keterbukaan dan keberanian bersuara. Ketika ada sesuatu yang menyangkut keluarga besar Ponpes, misalnya itu kadang santri tidak nyaman untuk buka suara. Maka di sini perlu yang namanya informasi center untuk pengaduan terkait dengan hal yang menyimpang yang ada di pesantren. Ini penting saya kira, ada semacam krisis center kalau ada kejadian. Tapi kalau tidak ada kejadian, syaratnya harus ada pusat informasi atau pusat pengaduan yang itu sifatnya memang harus benar-benar independen. Karena kalau masih dihegemoni maka ya sama saja, artinya harus ditumbuhkan keberanian pada para santri untuk menyampaikan hal-hal yang dianggap menyimpang dari ajaran agama khususnya," ucapnya.

Ia pun mengusulkan, jika krisis center yang ada harus melibatkan semua unsur yang ada di lingkungan pondok. Ia mencontohkan, adanya pelibatan tokoh agama maupun perangkat desa setempat.

"Sepanjang pengetahuan saya di pondok-pondok di Jatim saya belum pernah melihat (krisis center) tapi ini perlu, penting untuk dicoba untuk krisis center ini di Ponpes. Dengan melibatkan semua unsur ya di samping pengasuh ponpes, mungkin tokoh agama, tokoh masyarakat yang ada di sekitar ponpes. Ini untuk memperkuat struktur dari krisis center," katanya.


Tulis Komentar