Nasional

Serangan terhadap pemuka agama: teror, intoleran atau aksi kriminal?

Kepolisian mempublikasikan foto terduga penyerang KH Umar Bisri, pimpinan Ponpes Al Hidayah Bandung.

GILANGNEWS.COM - Lima kasus penyerangan terhadap pemuka agama terjadi dalam dua pekan terakhir, satu di antaranya menewaskan petinggi Persatuan Islam (Persis) Kota Bandung, Ustaz Prawoto.

Presiden Joko Widodo menyebut rentetan kekerasan itu, termasuk serangan terhadap pastor Karl-Edmund Prier di Gereja Santa Lidwina, Sleman, Yogyakarta, Ahad (11/02), sebagai tindakan intoleran.

Namun pengamat menilai lima peristiwa itu justru tergolong aksi teror.

"Jokowi tidak cukup menyebut ini sebagai perbuatan intoleran karena skalanya meluas, menimbulkan kepanikan dan mengarah ke krisis," kata Ichsan Malik, pakar psikologi perdamaian dari Universitas Indonesia, Senin (12/02).

Ichsan yang pernah menjadi fasilitator perdamaian pada konflik Maluku tahun 2000 hingga 2003 mengatakan beragam informasi, baik fakta maupun berita bohong, kini berseliweran di media sosial terkait rentetan serangan itu.

"Itu menunjukkan tanda-tanda krisis yang mengarah pada kepanikan massal," ujarnya kepada wartawan.

Satu dari tiga serangan terhadap pemuka agama menimpa Umar Basri, pimpinan Pondok Pesantren Al Hidayah di Cicalengka, Kabupaten Bandung, yang menjadi korban penganiyaan.

Kejadian lainnya terjadi akhir pekan lalu, yaitu pengusiran Biksu Mulyanto Nurhalim, pemuka agama Buddha di Legok, Tangerang, Banten, yang dituduh menjadikan rumah sebagai tempat ibadah.

Ada pula pengeroyokan seorang ustaz oleh sekelompok pemuda di Kemanggisan, Jakarta Barat.

Tidak kasuistik

Mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Ansyaad Mbai, menyebut peristiwa itu perlu ditelisik kasus per kasus. Ia menjelaskan tidak setiap serangan terhadap pemuka agama dapat digolongkan sebagai aksi teror.

"Semuanya tidak bisa digeneralisasi berada dalam satu rangkaian," kata Ansyaad kepada BBC Indonesia.

Kepolisian sebelumnya menyatakan pembunuh Ustaz Prawoto dan penganiaya KH Umar Basri terindikasi mengalami gangguan jiwa. Artinya, pelaku tidak dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.

Sementara itu, Polri merilis dugaan bahwa Suliono, pembacok Pastor Prier merupakan sosok radikal yang pernah tinggal di Poso dan berkeinginan berjihad ke Suriah, basis kelompok militan yang menamakan diri Negara Islam (ISIS).

Kepolisian tidak mengusut dan menutup pengusiran biksu di Legok karena menyebut kasus itu telah diselesaikan secara kekeluargaan melalui mediasi.

Ansyaad mengatakan, kepolisian harus menyidik dan membeberkan setiap kasus penyerangan secara objektif.

Pengungkapan kasus itu, kata dia, vital untuk mencegah munculnya spekulasi yang mempertentangkan umat beragama.

"Pencegahan terbaik adalah mendapatkan fakta sebenarnya, bukan hoax, spekulasi tendensius yang mengkaitkan kejadian ini dengan tragedi masa lalu."

"Itu membuat masyarakat resah," ucap Ansyaad.

Komprehensif

Di sisi lain, Yati Andriyani, Koordinator KontraS, lembaga advokasi dan pemantau HAM yang berbasis di Jakarta, mendesak kepolisian mengusut seluruh penyerangan itu secara menyeluruh.

Tujuannya, kata Yati, adalah mengetahui mata rantai serangan terhadap pemuka agama maupun pelanggaran hak beribadah yang terjadi jelang pilkada, pemilu, dan pemilihan presiden.

"Saya khawatir kalau kasus-kasu ini hanya dilihat sebagai tindak intoleran, kita tidak akan mendapatkan motif dan menyelesaikannya ini secara sistematis."

"Kepolisian harus bisa memetakan pola kasus-kasus itu dan menemukan aktornya," kata Yati kepada BBC Indonesia.

Terkait hal ini, Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian mengatakan, pihaknya belum menemukan satu keterkaitan dari lima penyerangan terhadap pemuka agama itu.

"Sampai saat ini belum kami temukan indikasi itu, kami anggap ini spontan, fakta hukumnya spontan, tapi terus kami dalami," kata Tito kepada wartawan di markas Polda Metro Jaya, Jakarta, Senin (12/02) siang.

Sementara itu, Ichsan Malik menilai pemerintah daerah kerap bersikap bak pemadam kebakaran dalam kasus yang menyasar kelompok agama.

Menurutnya, pada perhelatan politik besar yang rentan diwarnai isu SARA, pemda sepatutnya menjadi pendorong komunikasi antarumat beragama.

"Jelang momentum politik, seharusnya pemda membuat konsolidasi atau musyawarah, tapi yang terjadi saat ini kan business as usual," kata Ichsan.

Terkait serangan terhadap pemuka agama di Bandung, Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan alias Aher berkoordinasi dengan Kodam III Siliwangi dan kepolisian daerah.

Aher mempertemukan ratusan ulama dengan pejabat tinggi daerah dari unsur militer dan polisi, Minggu (11/02) kemarin.

"Kita harus seiring sejalan. Ulama dan umaro, untuk menjaga kondusivitas Jabar, apalagi menjelang Pilkada serentak," kata Aher seperti dilansir situs resmi Pemprov Jabar.

Panglima Kodam Siliwangi Mayjen Doni Monardo mewacanakan patroli ke berbagai pesantren dan kediaman ulama. Adapun, Wakil Kepala Polda Jabar, Brigjen Supratman, meminta publik bijak mengolah informasi berbau SARA.

"Lebih baik setiap berita yang muncul di masyarakat dapat disaring terlebih dahulu, sehingga jika meresahkan, berita itu bisa diredam," kata Supratman kepada wartawan.

Berdasarkan catatan KontraS, pada 2017 Jawa Barat sebanyak 17 kali menjadi lokasi persekusi atas nama agama dan keyakinan. Jumlah itu di atas Jawa Tengah (13 peristiwa), Jawa Timur (7), dan Banten (7).

Sementara itu, Presiden Jokowi menyebut sikap intoleran bertentangan dengan konstitusi Indonesia yang menjamin kebebasan beragama. Ia mengatakan setiap kasus yang melanggar hak beragama harus diusut.

"Saya sudah perintahkan kepada aparat untuk tindak tegas," tegas Jokowi.


Tulis Komentar