Sebab, isi MoU itu bertentangan dengan norma dalam UU Tindak Pidana Korupsi yang menyebut bahwa pengembalian uang negara tidak menghapus tindak pidananya.
"MoU antara Kepolisian, Kejaksaan, dan Kemendagri perlu disesuaikan agar tidak bertentangan dengan norma UU Tindak Pidana Korupsi," ujarnya, melalui pesan singkat, Sabtu (3/3).
Terlebih, kata dia, MoU ini posisinya sebagai nota kesepahaman saja. "Bukan dasar hukum yang dapat dirujuk secara legitimate," imbuh Miko.
Hal ini dikatakannya terkait MoU yang ditandatangani tiga Kementerian/Lembaga tersebut tentang koordinasi antara Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) dengan Aparat penegak Hukum (APH) dalam penanganan laporan atau pengaduan masyarakat yang terindikasi tindak pidana korupsi di pemerintahan daerah.
Dengan adanya MoU tersebut, setiap laporan dari masyarakat tidak langsung ditindaklanjuti oleh APH. Kasus itu akan lebih dulu diperiksa APIP. Tujuannya, untuk memastikan apakah laporan tersebut benar-benar berkaitan dengan dugaan tindak pidana korupsi, atau hanya sebatas perkara kesalahan administrasi semata.
Sebelumnya Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komjen Ari Dono Sukmanto mengatakan bahwa MoU itu berisi tentang kemungkinan penghentian penyelidikan oleh aparat jika yang bersangkutan mengembalikan uang yang diduga berasal dari tindak pidana.
"Kalau masih penyelidikan kemudian si tersangka mengembalikan uangnya, kami lihat mungkin persoalan ini tidak kita lanjutkan ke penyidikan," kata Ari Dono, Rabu (28/2).
Belakangan, itu dikoreksi Mabes Polri. Kadiv Humas Polri Irjen Pol Setyo Wasisto mengatakan pernyataan Ari Dono itu adalah pendapat pribadi. Meski begitu, sambung Setyo, hal tersebut tak menutup kemungkinan untuk dikaji pihaknya.
Menurut Miko, Pasal 2 dan 3 UU Tipikor jelas menyebutkan bahwa unsur utama perbuatan korupsi bukan pada kerugian negara. Inti deliknya ada pada perbuatan memperkaya diri sendiri.
Pasal 4 UU yang sama juga menyebutkan bahwa pengembalian kerugian negara tidak menghilangkan pertanggungjawaban pelaku tindak pidana korupsi.
"Jadi ada atau tidak ada pengembalian kerugian negara, sepanjang ada perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, maka delik itu terpenuhi," jelasnya.
Ia memaklumi bahwa MoU itu untuk menyasar pelanggaran administrasi (maladministrasi). Namun, dalam praktiknya akan sulit membedakan antara pelanggaran administrasi dan pidana.
"Indikatornya sebaiknya pada bukti permulaan yang cukup untuk ditingkatkan menjadi penyidikan atau tidak. Dengan kata lain, prosedurnya dikembalikan pada peradilan pidana," ucap Miko.
Kriteria kesalahan administrasi itu dijelaskan dalam pasal 7 ayat (5) MoU tersebut. Yakni, tidak terdapat kerugian negara/daerah; terdapat kerugian namun telah diproses melalui tuntutan ganti rugi paling lambat 60 hari sejak laporan pemeriksaan diterima pejabat atau telah ditindaklanjuti dan dinyatakan selesai oleh APIP atau BPK.
Selain itu, termasuk kesalahan administrasi jika itu bagian dari diskresi dan penyelenggaraan administrasi pemerintah sepanjang sesuai dengan asas umum pemerintahan yang baik.
Pengajar ilmu hukum di Universitas Indonesia Chudry Sitompul menyebut MoU tersebut bisa memicu konflik hukum dengan UU Tipikor. Sebab, kesalahan administrasi bisa berarti penyalahgunaan wewenang yang juga ranah UU Tipikor.
Tulis Komentar