Dalam sebuah ledakan yang dilakukan oleh seorang tersangka teroris di rusunawa di Sidoarjo, tiga korban tewas dan dua korban luka juga berasal dari satu keluarga.
Pengamat terorisme Greg Barton dalam wawancara dengan BBC World TV mengatakan inilah kekhawatiran yang bisa ditimbulkan oleh mereka yang pernah bertempur untuk ISIS.
Mereka bisa lebih terampil merakit senjata dan juga makin radikal, termasuk perempuan.
"Ini mengingatkan tak hanya laki-laki yang teradikalisasi, tapi juga perempuan. Perempuan bisa memainkan peran aktif," kata Barton.
Dalam keterangan pers di Surabaya, Presiden juga menyatakan bahwa tindakan terorisme itu 'sungguh biadab dan di luar batas kemanusiaan'.
Pelaku pengeboman atas tiga gereja di Surabaya adalah keluarga pasangan suami istri Dita Oepriyanto dan istrinya, Puji Kuswanti.
Dita merupakan Ketua Jemaah Ansyarut Daulah Jawa Timur, menurut Kapolri Jenderal Tito Karvanian.
Dua anak perempuan mereka yang berusia 12 dan sembilan tahun ikut digendong ibunya saat mengebom salah satu gereja. Sedangkan dua lagi adalah putra mereka yang berusia belasan tahun yang menggunakan sepeda motor saat mengebom gereja kedua.
Adapun sang ayah melakukan serangan pada gereja ketiga.
Sedikitnya 13 orang tewas, termasuk enam tersangka pelaku, sementara puluhan lainnya luka-luka akibat serangan bom atas tiga gereja di Surabaya, Minggu (13/05).
"Dita bersama dengan anaknya mengendarai mobil Avanza (untuk meledakkan Gereja Pantekosta) GPPS Arjuno. Sebelumnya, Dita sudah terlebih dahulu menurunkan istri dan dua anaknya di GKI Wonokromo Diponegoro."
Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengatakan kepada para wartawan di Surabaya bahwa keluarga pengebom gereja Surabaya baru saja pulang dari Suriah untuk belajar strategi teror.
"Yang kembali dari Suriah 500, termasuk di antaranya keluarga ini."
Kapolri Tito Karnavian kepada para wartawan mengatakan Polri, TNI, dan BIN (Badan Intelijen Negara) bergerak guna rapatkan barisan.
Ke depan, pihaknya akan meminta panglima TNI untuk kirim kekuatan.
"Polri dan TNI akan gelar operasi bersama. Akan melakukan penangkapan kelompok-kelompok, sel-sel, dari JAD dan JAT (jamaah Ansharut Daulah dan Jamaah Ansharut Tauhid), maupun mereka yang diduga akan melakukan aksi (teror)," kata Tito.
Para pejabat keamanan mengatakan tersangka pelaku ledakan 'berafiliasi' dengan JAD, kelompok 'yang sudah menyatakan kesetiaan kepada ISIS'.
'Ledakan' di rumah susun di Sidoarjo, korban juga keluarga
Sementara itu, pada Minggu (13/05) malam, terjadi 'ledakan' di satu rumah susun di Sidoarjo, mengutip pejabat kepolisian di Jawa Timur.
Pantauan media menyebutkan seluruh penghuni telah meninggalkan rumah susun, sementara polisi melakukan penyelidikan di lokasi kejadian.
Dilaporkan tiga orang tewas dalam kejadian yang digambarkan sebagai tersangka teroris.
Menurut Kabid Humas Polda Jatim Kombespol Frans Barung Mangera, mereka yang menjadi korban juga adalah satu keluarga, yang terdiri dari Anton Febrianto (47), istrinya bernama Puspitasari (47) dan empat orang anak mereka yang berusia 17 hingga 10 tahun.
Frans mengatakan bahwa pada ledakan pertama Anton mengalami luka parah namun masih hidup.
"Dia dalam keadaan memegang switch, sehingga terpaksa dilumpuhkan. Jadi, Anton tewas setelah dilumpuhkan petugas yang datang ke lokasi," ungkapnya.
Dalam ledakan pertama itu, Puspitasari dan anaknya HA tewas di lokasi kejadian. Sedangkan dua anak yang kecil, FA dan GA mengalami luka parah.
"AR, satu-satunya anak laki-laki selamat. Dia juga yang membawa dua adiknya ke rumah sakit. Sekarang, mereka di RS Bhayangkara Surabaya," lanjut Frans.
Media internasional soroti 'pelaku' dari satu keluarga
Hampir semua media internasional menyoroti tersangka pelaku serangan bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya yang diyakini berasal dari satu keluarga.
New York Times turun di judul berita 'Keluarga bersama anak-anaknya melancarkan serangan bunuh diri di tiga gereja di Indonesia'.
Koran Inggris, The Guardian, memilih judul 'Pengeboman gereja di Indonesia: Polisi mengatakan keluarga dan anak mereka berada di balik serangan'.
Situs berita The Independent menulis, "Keluarga mengirim anak-anak mereka melancarkan serangan bunuh diri mematikan di gereja'.
Situs berita milik Welt di Jerman mengatakan 'Keluarga Islamis meledakkan gereja'.
Ledakan bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya pada hari Minggu (13/05) mendorong aparat keamanan di Indonesia meningkatkan kerja sama menangkap semua kelompok dan sel teroris.
Paus Fransiskus dalam doa hari Minggu (13/05) di Alun-alun Santo Peter, Vatikan, juga mendoakan korban serangan gereja di Surabaya.
"Saya secara khusus dekat dengan warga Indonesia, khususnya komunitas Kristen di kota Surabaya, yang terpukul keras oleh serangan serius atas tempat beribadah," tuturnya di hadapan massa yang berkumpul.
"Bersama-sama kita memohon perdamaian kepada Tuhan, untuk menghentikan kekerasan dan bahwa di dalam hati semuanya ada ruangan bukan untuk perasaan kebencian dan kekerasan, namun untuk rekonsilasi dan persaudaraan."
Tidak ada 'terorisme atas nama agama'
Serangan atas tiga gereja di Surabaya merupakan aksi terorisme yang semata-mata untuk mengganggu ketenangan masyarakat, kata Profesor Abdul A'la, salah seorang ulama Nahdlatul Ulama (NU) yang pernah menjabat sebagai rektor UIN Sunan Ampel, Surabaya.
"Terorisme itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan ajaran (agama) mana pun, ajaran (agama) apa pun. Kalau mengatasnamakan agama, maka itu sebenarnya agama hanya digunakan untuk kepentingan-kepentingan tertentu."
Selama ini masyarakat Jawa Timur, menurut Prof Abdul, merupakan masyarakat santri yang memiliki hubungan baik dengan berbagai etnis dan agama. Oleh karena itu ada keyakinan 'kami harus tetap tenang, kami tidak terprovokasi'.
"Dan bahkan kami akan lebih menunjukkan soliditas, persatuan masyarakat Jawa Timur, khususnya, dan bangsa Indonesia," tegas Prof Abdul.
Guru besar Sosiologi Universitas Airlangga, Prof Dr Hotman Siahaan, mengatakan bahwa masyarakat Surabaya terperangah dan terkejut akibat serangan bom ke tiga gereja di Surabaya, Minggu (14/050, yang sedikitnya menewaskan 10 orang.
"Karena selama ini, Surabaya dan Jawa Timur tidak pernah mengalamai gejolak seperti sesudah peristiwa Mojokerto waktu Natal dulu. Dan selama beberapa tahun terakhir ini kan suasananya sangat kondusif. Jadi tiba-tiba terjadi (rangkaian) bom ini membuat masyarakat panik dan bingung."
Prof Hotman merujuk pada serangan bom di Mojokerto pada 24 Desember 2000, yang menewaskan Riyanto, pemuda Banser Nahdlatul Ulama (NU) yang ikut mengawa Gereja. Eben Haezer di Mojokerto.
Di sisi lain, Prof Hotman mempertanyakan peran intelijen di Indonesia, "Saya kira ada pertanyaan tentang bagaimana intelijen kita untuk menyikapi ini, mencari penyebabnya. Dan seperti apa monitoring intelijen terhadap gerakan terorisme ini."
Tulis Komentar