Politik

Game of Thrones dan Politik Sinematik Jokowi

GILANGNEWS.COM - Jokowi tampak sudah mengantisipasi tempik-sorak itu. Jeda sesaat sengaja ia buat setelah menyebut frasa ‘Game of Thrones’ pelan-pelan. Di belakang tubuh kurusnya, adegan perang dari serial dengan judul yang sama dipampang pada dua layar raksasa. Ribuan peserta, bahkan yang sebelumnya sembunyi-sembunyi menahan kuap sekalipun, tak mungkin melewatkan.
Perhitungan Jokowi tepat: meriah tepuk tangan dan koor elu-elu hadirin mengapresiasi lihai sang Presiden menggunakan referensi pop dalam sambutan pidatonya pada plenary session IMF-Bank Dunia di Nusa Dua, Bali, 12 Oktober 2018. Setelahnya, Jokowi yang terlihat kesulitan menahan senyum, melanjutkan sambutannya.
Pertemuan IMF-Bank Dunia itu bukan ajang pertama Jokowi menggunakan referensi pop culture sebagai pemanis pidatonya. Dalam World Economic Forum di Vietnam sebulan sebelumnya, 12 September 2018, Jokowi menyadur tikai Thanos-Avengers agar negara-negara di dunia tak rakus dalam skema zero sum game mereka.
Mundur enam bulan sebelumnya, 17 Maret 2018, Jokowi juga memunculkan referensi House of Cards Netflix pada pidatonya dalam ASEAN-Australia Summit.
Pidato-pidato gaul Jokowi tersebut dipuji. Permainan metaforanya yang mengibaratkan perang dagang negara-negara besar di dunia dengan pertikaian fiktif dari serial HBO Amerika Serikat itu dinilai bernas dan mudah dipahami. Presiden Bank Dunia Jim Yong Kim, misalnya, sampai ‘minder’ mendengar pidato Jokowi.
“Mending kami pulang saja. Tak mungkin kami berpidato lebih baik dari itu,” selorohnya.

Istana jelas gembira dengan sanjungan internasional yang datang silih berganti. Menurut Juru Bicara Istana Kepresidenan Johan Budi Sapto Pribowo, respons positif tersebut menandakan Jokowi mendapat tempat dan dianggap punya arti di tataran dunia.
“Metafora tersebut mengandung pesan-pesan yang cukup mendalam,” ujar Johan Budi kepada wartawan, Kamis (18/10).

Menurutnya, apresiasi itu sudah sepantasnya dialamatkan buat Jokowi. Jokowi sendirilah yang, menurut Johan Budi, punya ide soal penggunaan referensi sinematik dalam pidato internasionalnya. “Ide kreatif itu kemudian diterjemahkan oleh Pak Sukardi Rinakit, Pak Ari Dwipayana,” tutur Johan Budi.
Penulisan bahan pidato memang tak terlepas dari kedua sosok Staf Khusus Bidang Politik dan Pers serta Politik dan Pemerintahan tersebut. Menurut sumber yang diwawancarai, kecuali di subjek-subjek umum, keduanya biasa meminta pakar di masing-masing bidang untuk menyiapkan materi pidato presiden seminggu sebelum acara.

Materi yang menjadi basis data presentasi visual itu kemudian akan ditulis ulang oleh Sukardi Rinakit yang gaya bahasanya disukai Jokowi, untuk menjadi pidato final. Sementara penyuplai materi pidato biasanya tak jauh dari jajaran menteri dan pengisi kabinet Jokowi.
“Waktu di Bali itu yang bantu (bikin pidato) Pak Pratikno dan Pak Tom Lembong,” kata Johan Budi. Ya, Menteri Sekretaris Negara Pratikno, juga Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Thomas Lembong yang pernah menjabat CEO perusahaan ekuitas yang berinvestasi di jaringan studio BlitzMegaplex.

Meski menarik perhatian luas di luar negeri, penggunaan referensi pop Jokowi di forum internasional itu mendapat beberapa kritikan dari dalam negeri. Wasekjen Partai Amanat Nasional sekaligus juru bicara Koalisi Adil Makmur Prabowo-Sandiaga, Faldo Maldini, menilai gimik yang disampaikan Jokowi harus dinilai dari kepentingan yang dibawa dalam setiap pidatonya.
“Sebenarnya kalau pada nonton GoT 7 itu udah basi. Enggak sedikit pemimpin di luar negeri yang menggunakan terminologi itu. Dan kalau ngomong GoT, itu masalahnya kemiskinan, kelaparan. Saya mau kritik enggak guna juga, karena saya yakin dia (Jokowi) pasti enggak nonton,” ujar Faldo kepada wartawan di kawasan SCBD, Jakarta Selatan, Jumat (19/10).
“Yang paling jadi concern saya itu dengan Anda lihat 22 September 2015, dia bilang enggak perlu IMF,” kata Faldo. Yang ia maksud adalah pidato Jokowi di pembukaan Konferensi Asia-Afrika di Jakarta, 22 April 2015. “Fundamental ekonomi kita itu lemah. Ngomong di depan IMF, ente ditepuktangani, ya iyalah karena masih utang. Pasti seneng dia (IMF).”
Selain soal konten pidato Jokowi dan perumpaan yang digunakan, kritik di dalam negeri juga menyasar timing Jokowi yang seakan-akan memanfaatkan forum internasional sebagai ajang kampanye untuk menggaet suara pemilih muda di Indonesia.

Adita Irawati, Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Kementerian dan Lembaga, punya pendapat berbeda terhadap kritik yang ditujukan pada pidato Jokowi. Menurutnya, cara unik Jokowi dalam berpidato berhasil merebut perhatian lebih dari para audiensnya, sehingga otomatis menjadikan pesan pemerintah Indonesia ke dunia tersampaikan secara lebih efektif.
Selain itu, Adita menilai pidato Jokowi relevan bagi kondisi dalam negeri yang memasuki tahun politik dan gencar dengan nuansa rivalitas. Referensi film pop, menurutnya, juga lebih mudah dicerna sehingga bisa menjadi pendidikan politik yang baik bagi anak muda.
“Pesannya, rivalitas tersebut hendaknya tidak bersifat destruktif,” kata Adita kepada wartawan, Sabtu (20/10).

Tsamara Amany, Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Solidaritas Indonesia yang juga Wakil Direktur Direktorat Penggalangan Pemilih Muda Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf, menilai aksi Jokowi yang dekat dengan anak muda sebagai hal yang natural.
“Bukan hanya untuk meraih suara, tapi juga menunjukkan bahwa kita punya presiden yang dekat dengan kita, supaya anak muda nggak canggung,” kata Tsamara saat berbincang dengan kumparan di  Warung Buncit, Jakarta Selatan.
Ia tak menepis bahwa pidato Jokowi tersebut punya dampak pada popularitas Jokowi di kalangan anak muda menjelang Pemilihan Presiden 2019.

“Yang paling penting, Pak Jokowi dalam meraih anak muda itu juga menyasar substansi, misalnya bicara soal perkembangan teknologi, soal kecerdasan buatan, soal revolusi industri 4.0. Bukan semata-mata soal branding,” ujar Tsamara.
Perhatian lebih terhadap pemilih muda dalam masa kampanye Pilpres 2019 ini bukanlah hal mengejutkan. Berdasarkan data Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), jumlah pemilih muda yang berusia 17 hingga 35 tahun di Indonesia mencapai 79 juta orang?hampir 40 persen dari jumlah seluruh pemilik hak suara.
“Ini sangat mempengaruhi, 80 juta itu kan angka yang sangat besar. Kalau mereka kemudian melabuhkan pilihannya ke kelompok tertentu, itu akan menjadi signifikansi kemenangan,” kata peneliti Perludem Fadli Ramadhanil saat ditemui kumparan di Cikini, Jakarta Pusat, akhir pekan kemarin.
Maka tak heran ketika Jokowi bermanuver lewat pidato-pidatonya, Sandiaga Uno dari kubu seberang juga tak kalah aktif menyapa dan bahkan mengidentikkan diri dengan kelompok milenial dalam rangkaian turnya di berbagai daerah.

Di sisi lain, upaya mengedepankan sosok Jokowi untuk menggaet pemilih muda di Pilpres 2019 memang tengah dimaksimalkan oleh TKN Jokowi-Ma’ruf, guna merespons gencarnya kampanye Sandiaga. Memaksimalkan branding Jokowi dirasa menjadi strategi yang paling masuk akal mengingat sosok Ma’ruf Amin lebih sulit dipersepsikan sebagai milenial.
“Banyak sekali aktivitas Sandi memosisikan diri sebagai cawapres milenial yang kami sadari tidak mungkin diperankan oleh Kiai Ma’ruf,” ujar anggota Gugus Informasi TKN Jokowi-Ma’ruf, Ridlwan Habib, kepada media.

Ridlwan menjelaskan, Ma’ruf Amin memiliki porsi tersendiri dengan segmentasi berbeda dari Jokowi. Kegiatan Ma’ruf, misalnya, menemui Sultan Yogyakarta, menemui kiai di Jawa Timur, dan memberikan ceramah di kampus-kampus.
“Kan dia adalah guru kami yang tidak mungkin kami pasangi jeans dan sneaker, atau pakai pete di kepala,” kata Ridlwan berseloroh, merujuk pada salah satu aksi Sandiaga saat menaruh seikat petai di kepalanya kala blusukan di pasar.

Gugus Informasi TKN Jokowi-Ma’ruf juga bertugas memastikan kesinambungan dua narasi?di darat maupun di media sosial?tetap terjaga setiap harinya, termasuk ketika pidato Thanos dan Game of Thrones Jokowi di Hanoi dan Bali mendapatkan reaksi besar dari audiens.
“Strategi kinetik?pertemuan dengan rakyat, ketemu santri, acara?itu kami bawa ke medsos dan diviralkan. Sebaliknya, ada juga yang ramai dulu di medsos, kami turunkan ke kinetik (aksi) lewat relawan,” kata Ridlwan.

Tren penggunaan referensi-referensi pop oleh calon presiden yang menarik perhatian golongan muda tanah air, di sisi lain dikhawatirkan akan menjauhkan narasi kampanye dari materi-materi yang benar-benar bermanfaat.
“Ada upaya untuk mengambil rujukan-rujukan yang lebih populer. Kalau Jokowi bilang ada Thanos di perekenomian global, ada Game of Thrones winter is coming, itu Prabowo punya Make Indonesia Great Again sebagai tandingannya,” kata Andrew Wiguna Mantong, peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Jakarta, Jumat (12/10).
Masalahnya, lanjut Andrew, adalah langkah konkret untuk melanjutkan narasi populer tersebut. “Jadi belum tentu rujukan-rujukan populer itu diikuti dengan terjemahan kebijakan yang sistematis,” ujarnya.
Kritik seirama juga dilontarkan Fadli. Menurutnya, perkembangan kampanye selama satu bulan terakhir bergerak ke arah yang tak berfaedah. “Padahal publik kan berharap perdebatan peserta pemilu itu turun ke dalam bahasa-bahasa yang operasional dan bisa dimengerti.”

Fadli juga mencermati bagaimana keterlibatan anak muda dalam perkembangan narasi Pilpres 2019 menjadi sebatas pasar suara semata.
“Dari kedua capres, kita lihat apa yang mereka tulis di visi-misi dan program itu hampir sama saja, belum menyentuh soal tantangan ledakan populasi milenial di tahun 2030, misalnya,” kata Fadli berdasarkan pengamatan dari Visi Misi Meneruskan Jalan Perubahan untuk Indonesia Maju milik Jokowi-Ma’ruf, dan Visi Misi Empat Pilar Menyejahterakan Indonesia dari Prabowo-Sandiaga.
Direktur Eksekutif Charta Politika, Yunarto Wijaya, juga melontarkan argumen serupa. Menurutnya, rekoginisi masyarakat?terutama anak muda?terhadap gaya segar pidato Jokowi tidak boleh terhenti sampai tataran gimik saja.
“Enggak bisa berhenti sampai di situ. Oang dalam dialog yang lebih mendalam bisa bertanya, ‘Pak, bagaimana kita bisa menjadi seorang Avenger? Apa kebijakan pemerintahan Bapak ke depan untuk industri kreatif kita?' Jadi tidak berhenti sampai di (ucapan) simbolik,” ujar Yunarto.
Ia menilai, apabila tak disertai lanjutan aksi operasional yang jelas, gimik-gimik yang dilakukan Jokowi-Ma’ruf maupun Prabowo-Sandiaga akan berpotensi menjadi bumerang.
“Anak-anak muda ini paling kritis loh, lebih kritis dari segmen pemilih lain. Mereka paling melek informasi, paling selektif, bisa melihat mana yang utopis, mana yang sifatnya konkret.”


Tulis Komentar