Pekanbaru

Dugaan Pelecehan Seksual di Unri Jadi Momentum Terapkan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021

Konferensi Pers di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekanbaru, Ahad (7/11/2021) kemarin.

GILANGNEWS.COM - Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Anwar Makarim Makarim Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi.

Kemendikbudristek menuturkan, peraturan tersebut dibuat untuk menangani kekerasan seksual yang selama ini luput tertangani oleh pihak kampus.

Kuasa hukum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekanbaru, Noval Setiawan mengatakan, peraturan ini baru dikeluarkan Kemendikbudristek untuk menangani kasus - kasus pelecehan seksual di lingkungan universitas dan merupakan suatu terobosan yang baik.

"Kita anggap ini adalah salah satu terobosan baik dalam dunia pendidikan, untuk mengungkap kasus - kasus di lingkungan kampus terkait pelecehan seksual. Memang kita belum menemukan beberapa kampus menerapkan Permendikbud ini dengan baik," kata Noval, Senin (8/11/2021).

Ia juga mengatakan kasus pelecehan ini adalah titik awal bagi Unri untuk menerapkan Permendikbud ini untuk mengungkapkan dan membuka kasus - kasus dugaan pelecehan seksual di Unri yang terjadi selama ini.

"Ini juga adalah salah satu bentuk dukungan terhadap pihak kepolisian yang selama ini sulit menemukan fakta, bukti, dan petunjuk dalam menangani kasus pelecehan seksual di lingkungan kampus," ucapnya.

Noval juga menjelaskan di dalam Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tersebut sudah dijelaskan apa - apa saja jenis pelecehan seksual. Bahkan menyentuh dan menyampaikan ucapan tak senonoh sudah masuk ke dalam pelecehan seksual.

"Sudah diatur semuanya di dalam Permendikbudriste Nomor 30 Tahun 2021, tapi ini hanya sifatnya mengatur kampus untuk melakukan pencegahan, dan salah satu program dari peraturan ini adalah membuat satgas untuk mencegah kemudian menangani kasus pelecehan seksual di kampus," cakap Noval.

Sementara itu, Presiden Mahasiswa Unri Kaharuddin juga menyampaikan bahwa Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 itu merupakan titik balik untuk menjaga norma - norma kebudayaan Melayu.

"Sesuai dengan Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 kita sebagai mahasiswa harus menjunjung tinggi nilai - nilai norma kebudayaan Melayu," tukas Presma UNRI.

Sebagai informasi, berikut sebagian isi dari Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021:

Pengertian kekerasan seksual diatur dalam Pasal 1, yakni: kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan optimal.

Cakupan kekerasan seksual diatur pada Pasal 5 ayat (1). Disebutkan bahwa kekerasan seksual mencakup tindakan yang dilakukan secara verbal, nonfisik, fisik, dan/atau melalui teknologi informasi dan komunikasi.

Pada pasal 5 ayat (2) disebutkan kekerasan seksual, meliputi:

a. menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas gender Korban;

b. memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan Korban;

c. menyampaikan ucapan yang memuat rayuan, lelucon, dan/atau siulan yang bernuansa seksual pada Korban;

d. menatap Korban dengan nuansa seksual dan/atau tidak nyaman;

e. mengirimkan pesan, lelucon, gambar, foto, audio, dan/atau video bernuansa seksual kepada Korban meskipun sudah dilarang Korban;

f. mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;

g. mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;

h. menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;

i. mengintip atau dengan sengaja melihat Korban yang sedang melakukan kegiatan secara pribadi dan/atau pada ruang yang bersifat pribadi;

j. membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh Korban;

k. memberi hukuman atau sanksi yang bernuansa seksual;

l. menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh Korban tanpa persetujuan Korban;

m. membuka pakaian Korban tanpa persetujuan Korban;

n. memaksa Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual;

o. mempraktikkan budaya komunitas Mahasiswa, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan yang bernuansa Kekerasan Seksual;

p. melakukan percobaan perkosaan, namun penetrasi tidak terjadi;

q. melakukan perkosaan termasuk penetrasi dengan benda atau bagian tubuh selain alat kelamin;

r. memaksa atau memperdayai Korban untuk melakukan aborsi;

s. memaksa atau memperdayai Korban untuk hamil;

t. membiarkan terjadinya Kekerasan Seksual dengan sengaja; dan/atau

u. melakukan perbuatan Kekerasan Seksual lainnya.

Pada pasal 5 ayat (3) disebutkan persetujuan korban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf f, huruf g, huruf h, huruf l, dan huruf m, dianggap tidak sah dalam hal Korban:

a. memiliki usia belum dewasa sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;

b. mengalami situasi dimana pelaku mengancam, memaksa, dan/atau menyalahgunakan kedudukannya;

c. mengalami kondisi di bawah pengaruh obat-obatan, alkohol, dan/atau narkoba;

d. mengalami sakit, tidak sadar, atau tertidur;

e. memiliki kondisi fisik dan/atau psikologis yang rentan;

f. mengalami kelumpuhan sementara (tonic immobility);
dan/atau

g. mengalami kondisi terguncang.


Tulis Komentar