Nasional

TNI Ingin Tangani Terorisme, Koalisi Masyarakat Sipil Khawatir

Densus 88.

GILANGNEWS.COM - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan khawatir dengan adanya Revisi UU Antiterorisme yang sedang dibahas DPR. Soalnya revisi itu berpotensi akan melibatkan TNI dalam penanganan kasus terorisme.  

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan khawatir dengan adanya Revisi UU Antiterorisme yang sedang dibahas DPR. Soalnya revisi itu berpotensi akan melibatkan TNI dalam penanganan kasus terorisme.

Koalisi khawatir jika TNI yang terlibat dalam kehidupan sipil nantinya akan merenggut hak-hak dari masyarakat sipil. Saat ini pembahasan tentang perubahan UU No 15 tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme sedang dibahas di DPR.

"Di tengah proses pembahasan RUU Antiterorisme di DPR, belakangan ini muncul surat Panglima TNI ditujukan pada Pansus RUU terorisme pada 8 Januari 2018, yang intinya meminta Pansus RUU untuk mengakomodir usulan TNI," kata perwakilan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Totok Yuliyanto di Kantor Imparsial Jl Tebet Dalam 4J No 5B, Tebet, Jakarta Selatan, Selasa (23/1/2018).

Usulan Panglima TNI disebutnya ada tiga. Pertama, perubahan judul UU menjadi 'Penanggulangan Aksi Terorisme'. Kedua, tentang definisi terorisme. Ketiga, tentang tugas dan wewenang TNI dalam penanggulangan terorisme.

TNI adalah alat negara. Totok mengatakan usulan surat Panglima TNI tidak tepat karena tindak pidana terorisme adalah bentuk kejahatan pidana bukan kejahatan negara. Dalam surat itu TNI ingin berperan mencakup aspek penindakan mulai dari pencegahan dan penangkapan yang sebenarnya bertentangan dengan prinsip negara hukum.

"Militer bukanlah aparat penegak hukum tetapi alat pertahanan negara, karenanya militer tidak boleh ikut dan terlibat dalam penindakan terorisme," tambahnya.

Koalisi khawatir keterlibatan TNI dalam pemberantasan terorisme akan mengambil hak masyarakat sipil. Perwakilan dari Imparsial, Al Araf, menegaskan jika tugas militer bukan untuk penegakkan hukum melainkan kemanan negara. Bila permintaan TNI itu dituruti, Indonesia bisa-bisa kembali ke suasana Orde Baru.

"Ada tiga isu, yang pertama perubahan judul RUU itu kita tolak karena tidak kita benarkan. Yang kedua soal definisi. Definisi di UU lama itu teroris melanggar tindak pidana, di surat Panglima itu tindakan melanggar negara. Yang ketiga soal penambahan kewenangan RUU dari penegakan dan penangkapan itu salah karena militer bukan penegak hukum, dan ini akan menghancurkan operasional sistim ini, bisa membalikkan di masa Orde Baru," kata Araf.

Kekhawatiran lain juga diucapkan oleh perwakilan Kontras, Yati Andriyani. Yati menyebut selain hak asasi warga sipil yang nantinya berdampak dilanggar jika TNI terlibat, kekhawatiran lain dari sisi tumpang tindih tugas.

Menurutnya tugas kepolisian sebagai penengak hukum melakukan pencegahan, penindakan, dan pemulihan. Kini TNI menginginkan tugas yang sama seperti kepolisian. Dia berpendapat akan ada timpang tindih antara dua institusi yang memiliki kesamaan tugas dalam penanggulangan terorisme.

"Kalau militer masuk ke penegak hukum kita balik lagi ke masa Orde Baru, militer boleh menangkap, menahan dan seterusnya. Di surat yang diserahkan Panglima TNI yang baru kan ada tiga item itu minta dilibatkan untuk penindakan, pencegahan dan pemulihan. Itu akan sangat mungkin tumpang tindih," kata Yati.

Yati menyebut jika militer masuk dalam pemberantasan terorisme maka akan sangat subjektif karena TNI mengusulkan tentang pengertian terorisme tidak hanya terkait tindak pidana terorisme tetapi juga terkait soal kedaulatan negara. Yati tak mau usulan-usulan tersebut mengganggu kebebasan berpendapat bagi masyarakat sipil.

"Ukuran-ukuran menganggu keamanan itu kan sangat subjektif, jangan sampai masyarakat sipil yang menyampaikan kebebasan berpendapatnya atau menyampaikan ketidakpuasan terhadap pemerintah itu bisa saja dianggap menggangu kedaulatan negara. Nah, dalam konteks itu kebebasan hak terbatasi," kata Yati.

Belum lagi bila memandang ke depan soal potensi pelanggaran dalam penindakan orang yang diduga teroris. Pihak milter tak akan bisa diadili di peradilan umum melainkan hanya di peradilan militer.

"Yang pada pradilan militer itu sangat subjektif karena hanya untuk kalangan militer sehingga independensinya dipertanyakan," tambahnya.

Dalam jumpa pers ini Koalisi Masyarakat Sipil membahas RUU Antiterorisme, dihadiri oleh perwakilan-perwakilan dari lembaga terkait, yaitu; Ajeng Gandini (ICJR), Totok Yulianto (PBHI), Alghifari Aqsa (LBH Jakarta), Al Araf (Imparsial), Bonar Tigor (Setara Institute), Islah (Walhi), Yati Andriyani (kontras), Fadli (Perludem), dan Erwin Narosmal (ILR)

Soal surat Panglima TNI yang dikirim ke Panitia Khusus (Pansus) RUU Antiterorisme, hal ini dibenarkan oleh anggota Pansus dari Fraksi PPP, Arsul Sani. "memang benar ada surat dari Panglima TNI itu, kami mempelajarinya sebagai masukan pembahasan RUU terorisme yang memang masih menyisakan bab tentang kemebagaan," kata Arsul.


Tulis Komentar