Ekonomi

Said Didu Ingatkan Jokowi soal Kasus 'Papa Minta Saham'

Mantan Staf Khusus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Said Didu meminta Jokowi untuk menyingkirkan pihak-pihak yang hanya ingin mencari keuntungan sendiri lewat Freeport.

GILANGNEWS.COM - Mantan Staf Khusus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Said Didu mengingatkan Presiden Joko Widodo soal kasus 'Papa Minta Saham' usai Pemerintah membeli 51,23 persen saham PT Freeport Indonesia.

Said meminta Jokowi untuk menyingkirkan pihak-pihak yang hanya ingin mencari keuntungan sendiri lewat Freeport. 

"Saat saya membongkar 'Papa Minta Saham', itu adalah puncak gunung es, banyak tokoh yang 'main' di Freeport. Saya harap tokoh-tokoh itu harus dibersihkan agar investasi yang kita tanamkan dengan utang cukup besar ini oleh Inalum tidak rugi," kata Said saat ditemui di Jakarta, akhir pekan lalu.

Kasus Papa Minta Saham sendiri terjadi pada 2015 ketika Menteri ESDM kala itu, Sudirman Said, melaporkan Setya Novanto ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) di DPR terkait pencatutan nama Presiden RI Joko Widodo dalam perbincangan tentang saham Freeport antara Presiden PT Freeport Indonesia, Maroef Sjamsoeddin, Setya, dan pengusaha Riza Chalid.

Setya saat itu diduga meminta saham sebagai imbalan memuluskan perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia.

Tanpa menyebut nama, Said juga menyebut banyak mafia berkedok politisi yang mencari kehidupan di Freeport. 

Tak Perlu Dilebih-lebihkan

Selain mengingatkan Jokowi soal pihak-pihak yang berkepentingan, Said mengatakan sebenarnya proses pengambilalihan saham Freeport adalah langkah korporasi biasa sehingga tak perlu dilebih-lebihkan.

Pembelian saham ini, kata dia, didukung lima faktor. Selain karena faktor kesulitan Freeport McMoran memperpanjang kontrak yang hampir habis, ada pula faktor Undang-undang Minerba yang memberatkan McMoran.

Selain itu, menurut Said, Freeport McMoran juga memiliki niat menjual saham. Bak gayung bersambut, Inalum mendapat pinjaman dan kebijakan pemerintahan Jokowi mendukung.

"Suatu langkah korporasi biasa, pengambilalihan terjadi ya karena memang harus terjadi," ucap Said.

Ia menilai klaim Pemerintah yang begitu gembar-gembor malah mencerminkan kebijakan ini cenderung politis.

"Freeport ini tidak selalu untung. Karena itu saya harap betul-betul Freeport ini harus diisolasi dari kepentingan politik siapapun karena sangat rawan," tutur dia.

Sebelumnya, Pemerintah Indonesia mengambilalih 51,23 persen saham PT Freeport Indonesia lewat PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum). Inalum telah membayar US$ 3.85 miliar atau sekitar Rp56 triliun kepada Freeport McMoRan Inc. (FCX) dan Rio Tinto untuk itu.

Inalum bakal menguasai 41,23 persen, sedangkan 10 persen sisanya akan jadi jatah Pemda Papua. Sementara Freeport McMoran masih memegang 48,77 persen sisanya.

Guna membiayai akuisis Freeport, Inalum telah menerbitkan obligasi global sebesar US$4 miliar atau sekitar Rp58 triliun (kurs Rp14.500). 


Tulis Komentar