Nasional

Ketok Palu Angket KPK dan Dinamika yang Melatarinya

Aksi sindir upaya pelemahan KPK, September 2017.

GILANGNEWS.COM - Mahkamah Konstitusi (MK) melanggengkan keabsahan hak angket DPR terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). DPR diteguhkan punya kuasa menjalankan fungsi pengawasan parlemen terhadap kegiatan pemerintah dan lembaganya, termasuk KPK.

Putusan itu tak disetujui bulat oleh sembilan hakim MK. Empat di antaranya menyatakan berbeda pendapat karena menganggap KPK bukan termasuk lembaga eksekutif. Sehingga DPR tidak berwenang menerapkan angket terhadap KPK.

Lima hakim lainnya menganggap KPK termasuk lembaga eksekutif penunjang pemerintah karena dibentuk berdasarkan undang-undang. Ketuk palu pada akhirnya menolak gugatan yang menganggap hak angket DPR terhadap KPK keliru.

Penyelidikan DPR terhadap KPK digugat karena dianggap bertentangan dengan pakem aturan yang termuat dalam UU MPR, DPR, DPD, DPRD (MD3). Sekelompok penggugat, termasuk di antaranya pegawai KPK, menganggap DPR tak punya kuasa menyelidiki lembaga antikorupsi independen.

Pasal 79 ayat (3) UU MD3 menjelaskan, hak angket adalah hak DPR untuk menyelidiki pelaksanaan UU atau kebijakan pemerintah yang diduga bertentangan dengan UU.

Pelaksana UU atau kebijakan pemerintah dimaknai sebagai presiden, wakil presiden, menteri, panglima, TNI, kapolri, jaksa agung, atau pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian. Sementara dalam ketentuan UU 30/2002, KPK tercatat sebagai lembaga negara yang bersifat independen.

Merujuk pada teori doktrin trias politika, kata hakim yang dissenting opinion, kekuasaan dibagi menjadi tiga cabang yakni eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Seiring perkembangan hukum tata negara modern, terdapat lembaga dengan status independen.

Status independen berada di luar ketiga cabang kekuasaan tersebut. Sama halnya seperti KPK yang termasuk lembaga independen dan tak masuk ranah eksekutif.

Argumentasi itu dimentahkan oleh dominasi lima hakim yang 'melabeli' KPK bagian dari lembaga eksekutif. KPK dianggap melaksanakan fungsi dalam domain eksekutif, yakni penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Hakim juga menilai KPK tak masuk ranah yudikatif karena bukan badan pengadilan yang berwenang mengadili dan memutus perkara.

Sebutan lembaga independen untuk KPK juga tak lantas membuat komisi antirasuah itu dicap 'kebal' dari pengajuan hak angket. DPR tetap dianggap berwenang meminta pertanggungjawaban tugas dan kewenangan KPK sepanjang tidak berkaitan dengan kewenangan yudisial.

Sejumlah pihak menyoroti kejanggalan putusan MK karena mendadak tak konsisten menyikapi status KPK di Indonesia. Tercatat setidaknya empat putusan MK atas gugatan pada 2006, 2008, 2010, dan 2011 menegaskan bahwa KPK adalah lembaga independen yang bebas dari campur tangan kekuasaan manapun dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.

Putusan MK kali ini dianggap secara otomatis mengesahkan peran dan fungsi panitia khusus (Pansus) angket DPR terhadap KPK --yang seiring keberadaannya telah menuai pro dan kontra di ranah publik.

Pansus angket KPK dibentuk saat DPR masih di bawah kepemimpinan Setya Novanto, yang kini diseret KPK ke meja hijau dalam kasus korupsi proyek e-KTP. DPR kala itu mempertanyakan kesaksian yang menjurus pada dugaan penyalahgunaan wewenang dan aturan dalam proses berita acara pemeriksaan (BAP).

Semua bermula ketika mantan anggota Komisi II DPR Miryam S Haryani mengaku di bawah tekanan penyidik KPK Novel Baswedan saat diminta memberi keterangan dalam BAP. Dia menggambarkan ketakutannya sambil menangis saat menjadi saksi di persidangan e-KTP, Maret 2017.

"Pak Novel makan durian, bau mulutnya bikin saya mual. Sepertinya supaya saya cepat-cepat keluar," ujar Miryam usai menyeka air mata.

Miryam mencabut keterangannya sendiri dalam BAP. Dia menganulir kesaksian perihal pembagian uang atas proyek e-KTP.

Pada sidang terpisah, jaksa menjawab tudingan Miryam dengan memperlihatkan cuplikan kamera pengawas. Suasana pemeriksaan dalam video itu tampak rileks. Miryam bahkan sempat terlihat menebar senyum.

Dalam pemeriksaan BAP, kata Novel, Miryam justru mengaku mendapat ancaman dari setidaknya enam politikus di DPR, termasuk di antaranya Bambang Soesatyo --yang kini menjadi Ketua DPR menggantikan Setnov.

Berselang pekan dari sidang itu, DPR langsung memanggil KPK untuk rapat dengar pendapat di parlemen. Sejumlah isu dibahas mulai dari soal penyidik independen, manajemen penyidikan, hingga audit laporan dari Badan Pemeriksa Keuangan.

Rapat berjalan alot hingga dini hari karena berujung pada kesimpulan yang memicu perdebatan: Komisi III DPR meminta KPK melakukan klarifikasi atas kesaksian Novel di persidangan dengan membuka rekaman berita acara pemeriksaan Miryam.

KPK menolak membuka rekaman itu karena masuk ranah pro justitia. Sejak itulah usulan angket terhadap KPK mengemuka.

Penetapan hak angket berbuah perdebatan di tingkat paripurna, April 2017. Fahri Hamzah selaku pemimpin sidang mengetok palu pengesahan meski pengambilan keputusan diwarnai aksi walkout sejumlah fraksi.

Pansus Angket pun terbentuk. Penyelidikan DPR terhadap kinerja KPK berkejaran dengan pengembangan kasus e-KTP yang diusut penyidik Gedung Merah Putih.

Geger kasus e-KTP membuncah ketika KPK menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka korupsi proyek yang ditaksir merugikan duit negara Rp 2,3 triliun. Meski pernah menang praperadilan, Setnov kembali menjadi tersangka dan sempat dalam pencarian --yang berujung kecelakaan ketika mobil yang ditumpanginya menabrak tiang lampu hingga menyebabkan kepala Setnov 'benjol sebesar bakpao'.

Sementara itu Pansus Angket KPK, yang menghabiskan anggaran Rp3,1 miliar, tak membuahkan hasil signifikan dalam temuannya. Fahri Hamzah, lagi-lagi, tanpa basa-basi memperpanjang masa kerja Pansus Angket KPK karena sudah melewati tenggat.

Wacana pembatasan kewenangan KPK sempat mengemuka lewat revisi UU KPK. Tapi Pansus saat itu baru menyimpulkan hasil angket dalam bentuk laporan sementara, bukan kesimpulan rekomendasi akhir.

Sejak Setnov ditahan KPK, DPR sibuk berbenah. Kinerja pansus angket terbengkalai karena parlemen, terutama Komisi III, harus meladeni urusan legislasi berupa pembahasan revisi UU MD3 dan RKUHP, serta agenda pengawasan lainnya seperti uji kelayakan calon hakim konstitusi.

Di masa peralihan ketua DPR, Komisi III bersepakat menjadikan Arief Hidayat sebagai calon tunggal. Penunjukan itu dianggap kontroversial karena Arief kedapatan menjalin pertemuan dengan sejumlah perwakilan anggota Komisi III di sebuah hotel, yang diduga tanpa surat undangan resmi dan hanya melalui telepon.

Sejumlah pihak mengkhawatirkan pelantikan Arief bakal mempengaruhi putusan MK atas uji materi aturan hak angket yang digugat tak lama setelah pansus terbentuk.

Bagaimanapun polemik itu tak menghentikan DPR memperpanjang masa jabatan Arief sebagai hakim konstitusi.

Arief telah mengklarifikasi bahwa pertemuan di hotel itu atas undangan resmi tanpa dilatari lobi politik. Dewan Etik MK lantas menjatuhkan sanksi ringan berupa teguran lisan atas perbuatannya.

Lepas dari itu, palu pun diketok Arief usai "menolak permohonan para pemohon" gugatan uji materi aturan hak Angket DPR dalam UU MD3.

Putusan Arief atas gugatan uji materi hak angket DPR sudah jauh hari dikhawatirkan oleh mantan Ketua MK Mahfud MD --orang yang sejak awal menentang keberadaan pansus angket karena menganggap KPK bukan bagian dari organ pemerintah.

Mahfud memberi catatan bahwa keberadaan pansus angket KPK saat ini tetap tidak sah. Pertimbangannya, antara lain karena keberadaan pansus tidak melibatkan seluruh fraksi sebagaimana yang disyaratkan dalam UU MD3.

Selain itu, putusan MK tidak berlaku surut. Dalam arti lain, putusan yang baru diketok Arief tidak bisa diberlakukan terhadap pansus angket yang sudah dibentuk sejak Mei 2017. KPK belum bisa berstatus objek pengawasan DPR karena pansus dibentuk ketika MK sudah empat kali memutuskan bahwa KPK bukan bagian dari lembaga eksekutif.

Pansus angket KPK akan mengumumkan rekomendasi akhir lewat paripurna DPR (14/2). Ketua DPR Bambang Soesatyo yang juga mantan anggota pansus angket memastikan tak bakal ada usulan revisi UU KPK, kecuali KPK ikut menghendakinya.

Bambang ingin merajut hubungan baik dengan KPK dan ingin segera menyudahi masa tugas pansus angket. Usulan revisi UU KPK, kata Bambang, "tidak menjadi skala prioritas" mengingat DPR kini disibukkan mengejar target penyelesaian program legislasi nasional (Prolegnas) dan harus menghadapi Pilkada 2018 serta Pemilu.

Salah satu rancangan regulasi yang tengah intens digodok parlemen adalah revisi UU MD3. Selain menambah komposisi kursi pimpinan parlemen, revisi UU MD3 berniat menghidupkan hak imunitas anggota dewan dari pemeriksaan perkara, serta memberi kewenangan anggota dewan untuk memanggil paksa pihak dari lembaga pemerintah maupun mitra kerja untuk kebutuhan pengawasan.

Revisi UU MD3, dengan kata lain, menjadi tumpuan bagi anggota dewan melapisi perlindungan 'kehormatan profesi' serta memberi dasar hukum bagi kepolisian untuk membantu DPR memanggil paksa pihak yang dipanggil dalam rangka pengawasan parlemen.

Sementara putusan MK soal hak angket, kata ahli hukum pidana Abdul Fickar Hadjar, telah mengunci KPK sebagai lembaga yang "setiap saat bisa jadi objek angket DPR".


Tulis Komentar