Nasional

PSBB Transisi Bikin Jakarta Macet dan Berjubel, Kebijakan Anies Dikritik

Ilustrasi kemacetan di Jl Jend Gatot Subroto, Jakarta.

GILANGNEWS.COM - Untuk masa pembatasan sosial berskala besar (PSBB) transisi, Gubernur Jakarta Anies Baswedan sudah memerintahkan kegiatan perkantoran hanya boleh diisi setengah kapasitas dengan model shift. Namun justru, PSBB transisi bikin Jakarta menjadi ramai berjubel, kepadatan dan kemacetan terjadi. Kebijakan Anies kini dikritik.

Pengamat perkotaan dan transportasi dari Universitas Trisakti, Yayat Supriatna, mengamati kepadatan di stasiun KRL, berduyun-duyunnya pesepeda motor ke Jakarta, hingga kemacetan di jalan tol. Ditengarai, perusahaan-perusahaan masih belum sepenuhnya taat terhadap imbauan untuk mempekerjakan setengah kapasitas kantornya.

"Di balik ini, ketika orang menolak, ada resistensi karena kebijakan itu dinilai terlalu kaku, kebijakan itu terlalu membelenggu, kebijakan itu kurang memberdayakan, kebijakan itu terlalu banyak aturan, tapi tanpa pendampingan," kata Yayat kepada wartawan, Selasa (9/6/2020).

Namun, ketidaktaatan pihak perkantoran di Jakarta juga bisa dimaklumi. Di era ini, semuanya takut bangkrut.

"Jadi, ketidaktaatan itu muncul karena mereka dalam risiko ancaman kerugian dan ancaman kebangkrutan. Mereka berani tidak taat karena tidak ada yang melindunginya," kata Yayat.

Saat ini perlu kebijakan 'ku tahu yang kau mau'. Anies perlu mendengar apa yang dimaui oleh perusahaan yang mengelola perkantoran di Jakarta. Kebijakan perlu dilaksanakan, tapi juga perlu tetap solutif untuk masalah yang ada.

Kenyataannya, tiap perusahaan tetap menerapkan aturan sendiri, tidak menaati kaidah 50% kapasitas, Jakarta malah ramai di masa wabah Corona ini.

"Semua terlihat jalan sendiri-sendiri. Semua kebijakan tidak akan pernah ditaati kalau pemegang kebijakan tidak memberi perlindungan dan solusi yang bisa membantu. Ujung-ujungnya SDM: selamatkan diri masing-masing," tutur Yayat.

Solusi

Yayat memetakan masalahnya. Untuk sektor transportasi, kelas pekerja yang bermukim pada jarak 20-60 km akan menggunakan KRL untuk ke Jakarta.

Namun para pekerja yang punya rumah cukup jauh itu banyak yang hanya berangkat ke Jakarta pada Senin dan menghuni Jakarta sampai Jumat. Maka kepadatan di hari Senin cenderung lebih parah.

Stasiun Bogor padat oleh warga yang hendak berangkat kerja pada Senin (8/6) kemarin. Begitu pula, Stasiun Rangkasbitung dan Stasiun Bekasi, itu adalah stasiun tempat para pekerja mengakses transportasi ke Jakarta.

Di Bogor, headway (jarak antara bagian depan suatu kendaraan dan bagian depan kendaraan berikutnya pada suatu waktu) berkisar 5 menit saja, maka stasiun cenderung tidak terlalu padat. Ini juga dipengaruhi faktor pelataran Stasiun Bogor yang relatif luas.

Namun di Stasiun Rangkasbitung, pengguna KRL harus menunggu lebih lama lantaran headway lebih lama, yakni bisa sampai 30 menit. Di Bekasi, headway berkisar 10-15 menit.

Pekerja yang bermukim kurang dari 20 km akan menggunakan sepeda motor ke Jakarta. Pekerja yang bermukim di daerah-daerah tanpa akses angkutan umum akan ke Jakarta lewat jalan tol, sehingga jalan tol menjadi macet.

Apa solusi supaya warga tak harus berdesak-desakan di stasiun dan bermacet-macetan di jalan?

"Jam masuk kerja perlu diatur, jangan jam 8 pagi semua masuknya. Kantor harus menerapkan shift. Karyawan yang ber-KTP Bogor, Bekasi, atau Rangkasbitung perlu diperbolehkan masuk siang hari," kata Yayat.

Lalu bagaimana supaya aturan itu efektif? Dialog dengan kalangan usaha adalah kunci supaya mekanisme terbaik dapat dipatuhi. Dialog bukan untuk mencari kompromi, melainkan agar aturan bisa tegas diterapkan.

"Bisa nggak Pak Gubernur sekali-sekali berbicara dengan Apindo, Kadin, dan asosiasi pengusaha untuk berdialog. Selama ini, belum pernah ada pembicaraan khusus secara terbuka dengan asosiasi pengusaha," tuturnya.

Dia juga mendorong perusahaan serius menyiapkan bus-bus penjemput karyawan. Bus-bus ini tidak harus gratis, melainkan karyawan tetap membayar layaknya menggunakan transportasi lain. Namun, biayanya perlu diatur supaya tidak memberatkan.

Bus-bus penjemput karyawan ini diyakininya bisa mengurangi kepadatan dari arah permukiman Sentul, Cibubur, dan Bekasi. Dengan demikian, kemacetan di jalan tol bisa diminimalkan.

"Untuk pengguna mobil, rata-rata mereka tinggal di wilayah yang tidak dilayani transportasi publik. Saya usulkan agar perusahaan-perusahaan menyediakan bus-bus untuk karyawan. Bus jemputan point to point," kata Yayat.

Sebelumnya, Anies Baswedan menyatakan kegiatan perkantoran di Jakarta bisa dimulai kembali, tapi ada syarat yang mesti dipenuhi. Pertama, perusahaan hanya boleh mempekerjakan karyawannya sebanyak 50% saja di kantor. Sisanya tetap diminta bekerja dari rumah.

"Proporsi karyawan adalah separuh dari seluruh karyawan. Jadi 50% harus kerja di rumah," jelas Anies dalam konferensi pers virtual, Kamis (4/6) pekan lalu.

Kemudian dari 50% jumlah karyawan yang bekerja dari kantor, Anies mengatakan harus dibagi lagi menjadi dua shift jam kerjanya. Sebagai perumpamaan, shift yang pertama masuk pukul 07.00 WIB dan yang kedua masuk pukul 09.00 WIB. Hal ini dilakukan agar tidak ada penumpukan pada jam berangkat dan pulang kerja.


Tulis Komentar