Dunia

Tanggapan Hamas Tentang PM Israel Yang Baru, Lemah

Ilustrasi. Militan Hamas gelar parade anti-Israel di jalur Gaza. (REUTERS/MOHAMMED SALEM)

GILANGNEWS.COM - Hamas, faksi Palestina penguasa Jalur Gaza, menganggap Israel dipimpin oleh pemerintahan paling lemah dalam sejarah usai Perdana Menteri Benjamin Netanyahu lengser. berakhir.

 
 

Salah satu petinggi sekaligus perwakilan Hamas di Teheran, Iran, Khaled al-Qaddumi, menyinggung kedudukan partai pimpinan PM Israel saat ini, Naftali Bennett, yang hanya menguasai tujuh kursi dari 120 anggota parlemen Knesset.

Di tengah ketegangan dengan Hamas, Israel dihadapkan krisis politik setelah Netanyahu gagal membentuk koalisi pemerintah baru usai menang pemilu pada Maret lalu. Pemilu itu merupakan yang keempat dalam dua tahun terakhir.

Pemerintahan Bennett diprediksi tak akan memberi perubahan berarti terhadap prospek damai Israel-Palestina. Sebab, Bennett dikenal anti-Palestina yang bahkan menilai pembentukan negara Palestina merupakan bunuh diri negaranya.

Berikut komentar Hamas yang dipaparkan Qaddumi mengenai pemerintahan baru Israel dalam wawancara khusus virtual bersama CNN Indonesia, pada Sabtu (12/6).

Bagaimana Hamas menilai pemerintahan baru Israel tanpa Benjamin Netanyahu?

Satu-satunya perubahan yang kami, rakyat Palestina, saksikan adalah Israel dalam krisis yang akan membawa negara itu pada kegagalan bersejarah.

Dalam dua tahun terakhir, tidak ada pemerintahan yang bisa bertahan memerintah di Israel penuh selama empat tahun.

Israel saat ini juga dihadapkan masalah keamanan karena kejahatan mereka sendiri terhadap warga Palestina sehingga kami berani melakukan perlawanan.

Sekarang kami menghadapi pemerintahan Israel yang terdiri dari tujuh koalisi partai, yang paling lemah dalam sejarah Israel.

Mereka dipimpin oleh seorang perdana menteri yang partainya hanya memegang tujuh kursi di Knesset.

Jadi, Anda bisa bayangkan betapa rapuhnya pemerintahan itu. Bagaimana mudahnya memprediksi pemerintahan itu tidak akan stabil untuk empat tahun ke depan, mungkin hanya beberapa bulan saja.

Bagi kami, tidak ada partai politik Israel yang relevan dan mau menyesuaikan dengan hak Palestina. Jadi kami dihadapkan pada pemerintahan Israel yang rapuh dan rentan, yang akan menghadapi banyak tantangan ke depannya.

Dan kami sebagai warga Palestina berpikir tidak akan ada yang berubah dengan pemerintahan Israel yang baru.

Berkaca dari Israel, pemerintahan Palestina juga tidak sesolid itu. Masih ada konflik antar-faksi di Palestina, terutama antara Fatah dan Hamas, dua partai besar di Palestina. Bagaimana Anda menjelaskan ini?

Dalam sejarah setiap negara, termasuk Indonesia, pasti memiliki partai politik berbeda-beda dengan ideologi berbeda pula.

Pada akhirnya, Anda melalui proses demokrasi membiarkan masyarakat memilih sendiri apa yang mereka inginkan. Dan partai yang mendapat dukungan masyarakat terbanyak akan maju dan menerapkan pemahamannya. Ini naluri manusia.

Tapi memang tidak dapat diterima jika hal itu membuat tidak bersatu karena kami berada dalam satu negara yaitu Palestina. Fatah ibaratnya minyak, sementara Hamas adalah air, kami tidak cocok. Kami memiliki opini berbeda dan program politik berbeda.

Tapi, kami berada di dalam wadah yang sama, yaitu Palestina. Jika Palestina hancur, baik air dan air tidak akan bertahan. Jadi, takdir kita memang harus bersatu.

Kami menyatakan bahwa seluruh faksi Palestina harus menemukan solusi untuk berbicara satu sama lain, yang terpenting adalah karena saat ini kita berada dalam situasi tidak biasa, tidak stabil layaknya negara lain seperti Indonesia.

Jadi, tidak ada pertengkaran. Kami (faksi politik di Palestina) telah mencapai titik untuk berdialog bersama. Kami sudah membentuk tim mediator bahkan menggelar dialog langsung tidak hanya antara Fatah dan Hamas tapi juga dengan seluruh faksi Palestina. Ada lebih dari 20 faksi di Palestina.

Kami sayangnya masih dalam proses membentuk persatuan Palestina. Saya katakan sayangnya karena seharusnya kami sudah berada dalam situasi tersebut, bersatu, tapi nyatanya masih dalam proses menuju ke sana.

Namun, kami, Hamas, memiliki opini terkait proses perdamaian dengan Israel. Kami akan membicarakan hal itu nanti ketika terlihat mungkin dilaksanakan.

Kesepakatan damai Israel-Palestina baru bisa tercapai jika kedua belah pihak mau berkompromi dan sepakat. Apakah Hamas masih mau mempertimbangkan menjalin hubungan baik dengan Israel?

 
 

Ini bukan keputusan yang diambil oleh organisasi kami. Hamas mewakili lebih dari 60 persen warga Palestina yang mendukung pada pemilu 2006 lalu. Pemilu tersebut disaksikan komunitas internasional.

Kedua, terutama sejak pertempuran 11 hari di mana pasukan Israel menggempur Gaza, masyarakat Palestina telah menggelar referendum terkait apa yang harus dilakukan terkait program politik bagi masa depan kami.

Sebagian besar dari mereka masih berada di jalanan menyerukan satu slogan, 'Israel harus pergi karena tidak ada tempat bagi kriminal penyerang di antara kami'.

Warga Palestina termasuk Hamas, Jihad Islam, Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), non-PLO, semua menentang kejahatan Israel.

Kami semua menuntut satu hal dari komunitas internasional, kapan mereka akan mengintervesi dan membantu menghentikan pertumpahan darah bangsa Palestina?

Ini pandangan negara kami. Ada sekitar dua juta warga Palestina tinggal di area 1948 atau area yang diduduki Israel. Selama 73 tahun mereka hanya boleh berkomunikasi dengan Bahasa Ibrani, tidak diizinkan berbicara Bahasa Arab.Dilarang pergi ke sekolah Muslim dan ke masjid.

Israel dan komunitas internasional salah sangka, bahwa warga Palestina-bangsa Arab Israel-telah berubah dan identitas mereka berubah.

Yang kami lihat dua juta warga Arab Israel itu masih berdemonstrasi menentang Israel yang melakukan kejahatan terhadap warga Palestina di Yerusalem, Gaza, dan wilayah lainnya.

Ini suara bangsa Palestina. Lihat lah Tepi Barat, korban sipil berjatuhan karena dibunuh secara sengaja oleh pasukan Israel. Mereka bukan Hamas, bukan personel militer. Mereka rakyat biasa yang berada di jalanan.

Meski begitu, mereka tetap berdemo menentang Israel. Di Yerusalem, Masjid Al-Aqsa, Syeikh Jarrah, Silwan, orang-orang dirampas haknya oleh Israel, tapi mereka tetap berdemonstrasi dengan cara damai.

Para pedemo itu tidak memiliki senjata, roket, rudal, bahkan pisau, hanya berjuang dengan tangan mereka.

Soal Tepi Barat dan Jalur Gaza yang mencakup 18 persen wilayah asli Palestina, mereka mengatakan akan membagi dalam tiga zona, A, B, C.

Zona C, 60 persen itu untuk Israel, Zona B, 20 persen, itu akan menggabungkan otoritas Palestina dan pasukan Israel, dan Zona A akan menjadi milik Palestina.

Tetapi bahkan di Zona A, mereka memberikan hak atau bisa dibilang mendelegasikannya kepada orang Palestina, bukan mengakui hak mendirikan sebuah negara.

Jadi bahkan Zona A, yang diperuntukkan warga Palestina, mereka seakan memberikan wilayah itu untuk digunakan warga Palestina, jadi tetap bukan milik kami.

Nah, sekarang siapa yang bisa menjelaskan solusi dua negara itu seperti apa? Hanya ada Israel dan yang lainnya hidup berdasarkan kontrol Israel.

Jadi apa artinya solusi dua negara? Tidak ada.

Orang-orang harus mengerti para pencuri itu merampas lahan kami dan karena dukungan Amerika Serikat, negara adidaya, mereka seakan berhak menentang hak kami untuk hidup di rumah kami sendiri.

Sejauh ini, tidak ada juga pihak yang bisa menjelaskan bagaimana pandangan Israel soal solusi dua negara. Apakah Israel siap mengakui pendirian negara Palestina bahkan pada 1967 lalu? Saya berbicara soal negara Palestina seluas 18 persen tadi.

Kami adalah pemilik lahan, pemilik sah lahan tersebut. Hanya karena dukungan negara adidaya, para pencuri itu berani tak mengakui Palestina.

AS di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump bahkan mulai berubah dengan mengatakan tidak ada yang namanya solusi dua negara. Sekarang Trump hanya sejarah, AS dipimpin seorang presiden yang katanya demokrat, Joe Biden.

Kami berharap Biden akan membatalkan seluruh langkah dan kebijakan Trump dan kembali mendukung solusi dua negara. Tapi apa yang kami lihat sejauh ini tidak ada yang berubah.

Keputusan AS yang mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel masih tetap diterapkan. AS juga tak membatalkan relokasi kedutaannya dari Yerusalem kembali ke Tel Aviv. Mereka bahkan tidak berbicara sedikit pun soal kejahatan Israel dalam perang 11 hari Mei lalu.

AS hanya mengatakan bahwa mereka berdiri bersama Israel yang memiliki hak untuk mempertahankan diri seperti hak tersebut hanya untuk Israel saja dan tidak ada pihak lain yang bisa memiliki hak melindungi diri sendiri.

Jadi apakah Hamas masih percaya komunitas internasional bisa membantu memperjuangkan hak Palestina?

Komunitas internasional berarti kita berbicara PBB. Mereka memiliki ratusan resolusi melawan Israel. Tapi tidak ada satu pun yang bisa diimplementasikan. Mereka tidak punya gigi, tidak punya kekuatan untuk mempraktikannya.

Amerika memiliki hak veto di Dewan Keamanan PBB dan selalu mendukung narasi Israel, tidak pernah bisa mencoba untuk mendengar kami, Palestina, bahkan suara komunitas internasional dalam konflik ini.

Karena itu, kami percaya bahwa solusi yang ada saat ini, solusi dua negara atau satu negara, cocok karena satu alasan, Israel, si pencuri, tidak siap bekerja sama dan sayangnya mereka senang dengan dukungan AS.

Karena itu konflik ini tidak pernah selesai dan menyebabkan Palestina hanya memiliki satu pilihan yaitu memberontak demi mempertahankan diri sendiri.

Komunitas internasional lemah untuk menekan dan mendorong Israel.

 


Tulis Komentar