Nasional

Ironi Koruptor dari Diskon Hukuman hingga Gampang Dapat Remisi

Ilustrasi.

GILANGNEWS.COM - Karpet merah tergelar bagi para koruptor. Belum tuntas fenomena diskon vonis, kini muncul kemudahan bagi para koruptor untuk mendapatkan remisi.
Dalam beberapa waktu terakhir, tren pemberantasan korupsi di negeri ini mengalami penurunan. Mulai motor pemberantasan korupsi di KPK yang diwarnai sengkarut tes wawasan kebangsaan (TWK) hingga adanya fenomena pengurangan hukuman para koruptor.

Sebutlah beberapa waktu lalu ketika hukuman Djoko Tjandra alias Joko Soegiarto Tjandra dan Pinangki Sirna Malasari disunat. Hukuman Djoko Tjandra disunat Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta dari 4,5 tahun penjara menjadi 3,5 tahun penjara, sedangkan Pinangki Sirna Malasari awalnya dihukum 10 tahun penjara tapi disunat oleh Pengadilan Tinggi Jakarta menjadi 4 tahun penjara.

Selain itu, sebagaimana catatan KPK, pada 2020 diketahui ada 20 perkara koruptor yang ditangani KPK hukumannya dikurangi oleh Mahkamah Agung (MA). Salah satunya mantan anggota Komisi V DPR Musa Zainuddin dari 9 tahun penjara menjadi 6 tahun bui. Padahal, menurut KPK, Musa terbukti menerima suap terkait pembangunan jalan Taniwel-Saleman senilai Rp 56 miliar dan rekonstruksi Piru-Waisala Provinsi Maluku Rp 52 miliar dalam APBN Kementerian PUPR 2016.

Kemudian ada pengacara kondang OC Kaligis. Vonis OC Kaligis yang sebelumnya ditetapkan 10 tahun penjara dipotong oleh MA menjadi 7 tahun penjara. OC Kaligis dinyatakan terbukti menyuap majelis hakim dan panitera PTUN di Medan sebesar USD 27 ribu dan SGD 5.000. Lalu Irman Gusman terkait kasus impor gula semula oleh Pengadilan Tipikor Jakarta dihukum 4,5 tahun penjara. Setelah mengajukan PK ke MA, hukuman Imran dikurangi menjadi 3 tahun penjara.

Kritik dari Aktivis

Kondisi ini disorot para aktivis antikorupsi. Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas (Unand) Feri Amsari menilai penyebab maraknya pengurangan vonis koruptor di peradilan Indonesia adalah tren peradilan Indonesia tidak mendukung upaya pemberantasan korupsi.

"Kupikir karena tren peradilan kita yang tidak mendukung upaya pemberantasan korupsi, sehingga putusan-putusannya tidak tajam dan bergigi. Alasannya sering kali janggal," kata Feri Amsari, Jumat (30/7/2021).

Feri kemudian menyoroti alasan pengurangan hukuman Djoko Tjandra di PT DKI. Alasan yang meringankannya adalah telah menjalani pidana penjara pada kasus cessie Bank Bali dan telah menyerahkan uang ke negara sebesar Rp 546 miliar. Feri menilai alasan meringankan seperti itu tidak biasa terjadi.

"Misal dalam kasus Djoko Tjandra, alasan pengurangannya masa pidana karena Djoko Tjandra pernah menjalani hukuman dalam kasus lain, yaitu kasus BLBI, padahal dalam berbagai peradilan, kalau ada residivis, pelaku kejahatan berulang, itu menjadi alasan memberatkan, kenapa? Alasan yang memberatkan dalam kasus peradilan lain ternyata di dalam peradilan tipikor masih menjadi alasan atau hal meringankan bagi terpidana," ungkap Feri.

"Jadi saya melihat ini bukan karena faktor hakim tidak pintar, tidak memiliki pengetahuan hukum, tetapi proses ini lebih banyak nilai-nilai yang janggal, yang patut dipertanyakan sehingga mestinya KY memeriksa apakah putusan peradilan ini dilakukan dengan cara sebagaimana ditentukan taat beretika dan taat perundang-undangan," lanjutnya.

Hal senada disampaikan peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zaenur Rohman. Menurutnya, ada tiga faktor penyebab pengurangan hukuman bagi koruptor, yakni tak ada lagi Artidjo Alkostar di tingkat peradilan, melemahnya KPK karena kepemimpinan Ketua KPK Firli Bahuri, dan juga adanya revisi UU KPK.

"Menurut saya, alasan diskon hukuman tidak tunggal. Kalau secara hukum itu kewenangan majelis hakim, tapi saya melihat bahwa adanya tren pengurangan hukuman itu juga terkait kinerja lembaga pemberantasan korupsi yang disebut KPK. Lembaga KPK kinerjanya telah turun drastis di bawah kepemimpinan Firli Bahuri, itu bisa ditunjukkan dengan tidak ada kasus strategis yang ditangani, berkurangnya angka OTT, dan juga dibarengi revisi UU KPK yang telah membuat KPK tidak efektif dalam upaya pemberantasan korupsi," ujar Zaenur.

Menurut Zaenur, ada hubungan kinerja KPK dengan merebaknya diskon hukuman bagi koruptor. Dia melihat saat ini semangat pemberantasan korupsi di Indonesia sudah mulai luntur.

Zaenur juga menilai KPK saat ini telah kehilangan wibawa karena banyak skandal di internal KPK. Tingkat kepercayaan masyarakat ke KPK juga dinilai telah menurun.

"Saya lihat KPK saat ini tidak cukup disegani bagi lembaga lain, termasuk lembaga hukum selain KPK. Jadi saya berpendapat bahwa melemahnya pemberantasan korupsi oleh KPK itu tidak hanya mempengaruhi buruknya kinerja KPK, tapi juga berpengaruh pada lembaga penegak hukum yang lain," kata Zaenur.

Bawas MA soal Diskon Hukuman

Kepala Badan Pengawas Mahkamah Agung (Bawas MA) Dwiarso Budi Santiarto sempat dicecar perihal pengurangan hukuman belakangan ini ketika mengikuti seleksi calon hakim agung. Apa katanya?

"Pengurangan hukuman, penambahan hukuman, itu hal yang biasa, sudah lumrah, asalkan sesuai dengan ketentuan yang ada," kata Dwiarso dalam wawancara terbuka calon hakim agung yang disiarkan di kanal YouTube KY, Selasa (3/7/2021).

Dwiarso malah menyalahkan masyarakat karena membaca kasus sepotong-sepotong. Di mata Dwiarso, masyarakat tidak membaca putusan secara utuh pertimbangan majelis hakim.

"Secara pribadi, saya belum bisa memberikan komentar. Karena apa? Hakim dalam menjatuhkan strafmaat tentu memperhatikan segala hal. Tidak sedemikian gampang. Dan biasanya yang dimuat di berita kurang lengkap. Kami sayangkan juga, masyarakat tidak mendapat informasi yang lengkap sehingga seolah-olah MA atau banding selalu menurunkan," tutur Dwiarso.

"Padahal, kalau kita lihat sebagaimana yang disampaikan Ketua MA, yang penurunan itu di bawah 8 persen. Lainnya menguatkan atau menambah. Ini yang perlu diketahui masyarakat, tidak sebanyak itu. Hanya, ya itu tadi, informasi yang diterima masyarakat belum lengkap," sambung Dwiarso.

Pemberantasan Korupsi dari Survei

Beberapa waktu sebelumnya, menjelang 2 tahun pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Ma'ruf Amin, terdapat sejumlah lembaga survei yang menyoroti kinerja pemerintah termasuk dalam hal pemberantasan korupsi. Salah satunya lembaga survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menggelar survei nasional terhadap 2 tahun pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Amin secara umum. Hasilnya, sebesar 68,5 persen puas terhadap kinerja Jokowi-Ma'ruf dan 29,5 persen tidak puas.

Survei SMRC perihal 2 tahun pemerintahan Jokowi-Ma'ruf ini digelar pada 15-21 September 2021. Survei ini diikuti oleh 1.220 responden yang dipilih secara random atau multistage random sampling.

Responden terpilih diwawancarai lewat tatap muka. Mereka yang diwawancarai sudah berusia 17 tahun atau lebih, atau sudah menikah ketika survei dilakukan.

Responden yang dapat diwawancarai sebanyak 981 orang. Margin of error survei SMRC kali ini sebesar +- 3,19 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.

"Mayoritas warga, 68,5 persen sangat/cukup puas dengan kinerja Presiden Jokowi. Yang kurang/tidak pus 29,5 persen, dan yang tidak tahu/tidak menjawab 2 persen," kata peneliti SMRC, Sirojudin Abbas, saat memaparkan hasil survei SMRC secara virtual, Selasa (19/10/2021).

Kesimpulan SMRC, kepuasan publik terhadap kinerja Jokowi-Ma'ruf relatif stabil.

Dalam survei kali ini, SMRC juga meneliti anggapan publik terhadap pemerintahan Jokowi-Ma'ruf secara spesifik, yakni terkait pemberantasan korupsi. Hasilnya, sebagian besar responden menilai korupsi di Indonesia tahun ini semakin banyak.

"Ada 49,1 persen warga yang menilai korupsi di negara kita pada umumnya sekarang ini semakin banyak dibanding tahun lalu. Yang menilai sekain sedikit ada 17,1 persen, dan ada 27,8 persen yang menilai sama saja. Yang tidak tahu 6 persen," papar Sirojudin.

Remisi Dipermudah

Yang terbaru para koruptor yang berada di balik jeruji kini bisa tersenyum lebar. Sebab aturan yang membuat mereka lebih sulit mendapatkan pengurangan hukuman atau remisi telah dibatalkan Mahkamah Agung (MA).

Bermula dari pengajuan uji materi atau judicial review yang diajukan 5 koruptor di Lapas Sukamiskin mengenai sejumlah pasal dalam Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan (PP 99/2012). Pasal-pasal yang diujimaterikan adalah sebagai berikut:

- Pasal 34A ayat (1) huruf a dan b;
- Pasal 34A ayat (3);
- Pasal 43A ayat (1) huruf a; dan
- Pasal 43A ayat (3).

Berikut bunyi dari masing-masing pasal tersebut:

Pasal 34A ayat (1) huruf a dan b

Pemberian remisi bagi narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, selain harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 juga harus memenuhi persyaratan:
a. bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya;
b. telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan untuk narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana korupsi;

Pasal 34A ayat (3)

Kesediaan untuk bekerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus dinyatakan secara tertulis dan ditetapkan oleh instansi penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 43A ayat (1) huruf a

Pemberian Pembebasan Bersyarat untuk narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, selain harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) juga harus memenuhi persyaratan:
a. bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya;

Pasal 43A ayat (3)

Kesediaan untuk bekerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus dinyatakan secara tertulis oleh instansi penegak hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Apa kata MA mengenai uji materi terhadap pasal-pasal itu?

"Putusan kabul HUM (hak uji materiil)," kata juru bicara MA hakim agung Andi Samsan Nganro kepada wartawan, Jumat (29/10/2021).

Dalam pertimbangannya, majelis menyatakan narapidana bukan hanya objek tapi juga subjek yang tidak berbeda dengan manusia lainnya, yang sewaktu-waktu dapat melakukan kekhilafan yang dapat dikenai pidana sehingga tidak harus diberantas. Namun yang harus diberantas, lanjut majelis, adalah faktor-faktor yang menyebabkan narapidana berbuat hal-hal yang bertentangan dengan hukum.

"Bahwa berdasarkan filosofi pemasyarakatan tersebut, maka rumusan norma yang terdapat di dalam peraturan pelaksanaan UU No 12 Tahun 1995 sebagai aturan teknis pelaksana harus mempunyai semangat yang sebangun dengan filosofi pemasyarakatan yang memperkuat rehabilitasi dan reintegrasi sosial serta konsep restorative justice," kata majelis.

Berkaitan dengan hal tersebut, kata majelis, sejatinya hak untuk mendapatkan remisi harus diberikan tanpa terkecuali. Yang artinya berlaku sama bagi semua warga binaan untuk mendapatkan hak-nya secara sama, kecuali dicabut berdasarkan putusan pengadilan.

"Persyaratan untuk mendapatkan remisi tidak boleh bersifat membeda-bedakan dan justru dapat menggeser konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial yang ditetapkan serta harus mempertimbangkan dampak overcrowded di lapas," tutur majelis.

Dengan putusan itu maka pemberian remisi bagi koruptor, bandar narkoba, hingga napi teroris kembali ke aturan lama yaitu PP Nomor 32 Tahun 1999. Bagaimana aturannya?

Dicabutnya pasal-pasal itu maka pemberian remisi diatur sesuai PP Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan juncto PP Nomor 28 Tahun 2006, dengan tidak memandang jenis kejahatan yang dilakukan. Aturan itu tertuang di Pasal 34 PP Nomor 32 Tahun 1999.

Pasal 34

(1) Setiap Narapidana dan Anak Pidana yang selama menjalani masa pidana berkelakuan baik berhak mendapatkan remisi.
(2) Remisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat ditambah, apabila selama menjalani pidana, yang bersangkutan :
a. berbuat jasa kepada negara;
b. melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi negara atau kemanusiaan; atau
c. melakukan perbuatan yang membantu kegiatan lapas.
d. Ketentuan untuk mendapatkan remisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) berlaku juga bagi Narapidana dan anak Pidana yang menunggu grasi sambil menjalani pidana.

Adapun untuk mendapatkan pembebasan bersyarat, juga disamakan tanpa melihat latar belakang kejahatan si narapidana. Hal itu tertuang dalam Pasal 43 PP 32/1999, yaitu:

1. Setiap Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan kecuali Anak Sipil, berhak mendapatkan pembebasan bersyarat;
2. Pembebasan bersyarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bagi Narapidana dan Anak Pidana setelah menjalani pidana sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) dari masa pidananya dengan ketentuan 2/3 (dua pertiga) masa pidana tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan;
3. Berkelakuan baik selama menjalani masa pidana sekurang-kurangnya 9 (sembilan) bulan terakhir dihitung sebelum tanggal 2/3 (dua per tiga) masa pidana; dan
4. Pembebasan bersyarat bagi Anak Negara diberikan setelah menjalani pembinaan sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun.

Bila dibandingkan antara 2 aturan di atas maka para koruptor kini tidak perlu bekerja sama dengan penegak hukum sebagai justice collaborator lagi untuk mendapatkan remisi. Selain itu para koruptor itu tidak perlu sudah membayar lunas denda atau uang pengganti lebih dulu untuk mendapatkan remisi.

Suara KPK hingga Aktivis

Tentang remisi bagi para koruptor yang dipermudah itu memantik KPK hingga Indonesia Corruption Watch (ICW), Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), dan Bung Hatta Anti Corruption Award (BHACA). Mereka menyebut pemberantasan korupsi kini berada di titik nadir.

"Dari sini, masyarakat dapat melihat bahwa lembaga kekuasaan kehakiman tidak mendukung upaya pemberantasan korupsi. Pada masa mendatang, akibat putusan MA ini, narapidana korupsi akan semakin mudah untuk mendapatkan pengurangan hukuman," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (30/10/2021).

Kurnia menyebut PP 99 2012 sudah terbilang cukup baik untuk mengakomodasi syarat pemberian remisi koruptor. Dalam PP tersebut, khususnya Pasal 34A ayat (1) telah menyebutkan bahwa syarat untuk terpidana korupsi mendapatkan remisi harus memenuhi dua hal, yakni bersedia menjadi justice collaborator dan membayar lunas denda serta uang pengganti.

"Perlu diketahui, PP 99/2012 pada dasarnya sudah cukup baik mengakomodasi pengetatan syarat pemberian remisi bagi koruptor. Ini menunjukkan bahwa PP 99/2012 telah mempertimbangkan dengan sangat baik pemaknaan korupsi sebagai extraordinary crime yang membutuhkan cara-cara luar biasa dalam penanganannya, salah satunya memperketat pemberian remisi," katanya.

Kurnia mengatakan ada tiga poin yang seharusnya menjadi pertimbangan MA dalam mencabut PP tersebut. Pertama, PP 99/2012 dianggap tidak sejalan dengan model pemidanaan restorative justice.

"Kedua, regulasi itu juga dipandang diskriminatif, karena membeda-bedakan perlakuan kepada para terpidana. Ketiga, kehadiran peraturan tersebut mengakibatkan situasi overcrowded di lembaga pemasyarakatan," ujarnya.

Selanjutnya, Kurnia juga menilai MA inkonsisten dalam putusannya sendiri. Pasalnya, melalui putusan Nomor 51 P/HUM/2013 dan Nomor 63 P/HUM/2015, MA sudah secara tegas menyatakan bahwa perbedaan syarat pemberian remisi merupakan konsekuensi logis terhadap adanya perbedaan karakter jenis kejahatan, sifat bahayanya, dan dampak kejahatan yang dilakukan oleh seorang terpidana.

"Betapa tidak, sebelumnya lagi pula, perbedaan syarat pemberian remisi dalam konteks pembatasan hak diperbolehkan UUD 1945. Konsep tersebut tertera dalam Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945 yang menentukan pembatasan hak melalui undang-undang (UU). Bahkan MA secara eksplisit dalam putusan tahun 2013 menyebutkan PP 99/2012 mencerminkan spirit extraordinary crime," katanya.

Lalu MA juga dinilai keliru dalam menilai pengetatan remisi koruptor ini tidak sesuai dengan model restorative justice. Katanya, pemaknaan model restorative justice seharusnya adalah pemberian remisinya, bukan justru syarat pengetatan.

"Secara konsep, pemberian remisi sudah menjadi hak setiap terpidana dan telah dijamin oleh UU Pemasyarakatan. Sedangkan syarat pemberian remisi yang diperketat menitikberatkan pada deterrent effect bagi terpidana dengan jenis kejahatan khusus, salah satunya korupsi," ujarnya.

"Dengan kata lain, MA sedang berupaya menyamakan kejahatan korupsi dengan jenis kejahatan umum lainnya," tambahnya.

Selanjutnya, MA juga dinilai keliru dalam pandangan overcrowded di lapas, karena problematikanya bukan pada pemberian remisi, melainkan regulasi dalam bentuk UU, salah satunya terkait narkotika.

"Berdasarkan data dari sistem database pemasyarakatan per Maret 2020, jumlah terpidana korupsi sebenarnya hanya 0,7 persen (1.906 orang). Angka tersebut berbanding jauh dengan total keseluruhan warga binaan yang mencapai 270.445 orang. Melihat data tersebut, pertimbangan majelis hakim MA menjadi semakin tidak masuk akal," katanya.

Terakhir, ICW mendesak pemerintah dan DPR untuk tidak memanfaatkan putusan MA dalam RUU PAS sebagai dasar untuk mempermudah pengurangan hukuman para koruptor.

Sementara KPK melalui Plt Juru Bicaranya, Ali Fikri, berharap pemberian remisi khususnya kepada koruptor tetap harus dipertimbangkan dengan rasa keadilan pada masyarakat. KPK, kata Ali, sadar bahwa pembinaan narapidana korupsi merupakan wewenang Ditjen Pemasyarakatan tetapi dia menekankan bahwa pelaku korupsi merupakan kejahatan yang luar biasa dan memberikan dampak negatif yang luas. Maka itu, koruptor harus diberi efek jera.

"Maka dari itu, kami berharap pemberian remisi bagi para pelaku extraordinary crime, tetap mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat dan masukan dari aparat penegak hukumnya," kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri kepada wartawan, Jumat (29/10/2021).

"Karena keberhasilan pemberantasan korupsi butuh komitmen dan ikhtiar kita bersama, seluruh pemangku kepentingan. Baik pemerintah, para pembuat kebijakan, lembaga peradilan, aparat penegak hukum, dan seluruh elemen masyarakat," kata Ali.


Tulis Komentar