Politik

Tantangan Viani Limardi Kepada PSI

Viani Limardi.

GILANGNEWS.COM - Viani Limardi berang. Tudingan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) membuatnya naik pitam. Meski tumbuh bersama partai tersebut, dia kibarkan bendera perlawanan.

PSI menuding Viani penggelembungan dana reses. Tetapi anggota DPRD DKI Jakarta itu tidak mau hanya berdiam. Dia bantah tegas. Bahkan, membawa ke meja hijau.

Viani menganggap tuduhan dari PSI adalah fitnah. PSI telah merugikan kariernya sebagai wakil rakyat. Dia tidak menyangka. Pernah membesarkan PSI di DKI Jakarta, tetapi berbalas tuba.

Gugatan Viani teregistrasi dengan nomor: PN JKT.PST-102021KJM tertanggal 19 Oktober 21. Dalam lampiran berkas, Viani menggugat Rp1 triliun kepada kepada Dewan Pimpinan Pusat, Dewan Pembina dan Dewan Pimpinan Wilayah PSI.

PSI Ladeni Viani

Sekretaris DPW PSI DKI Jakarta, Elva Farhi Qolbina menyatakan pihaknya siap menghadapi gugatan yang diajukan Viani Limardi atas pemecatan dirinya sebagai kader partai dan anggota DPRD DKI Jakarta.

Dia mengatakan, pemecatan tersebut telah melewati proses evaluasi panjang mulai dari DPW PSI DKI Jakarta, Direktorat Pembinaan Fraksi dan Anggota Legislatif PSI, Tim Pencari Fakta (TPF), dan DPP PSI termasuk meminta keterangan langsung dari Viani.

"Kami punya bukti-bukti kuat sebagai dasar pemecatan. Dengan menggugat ke pengadilan sebenarnya Viani hanya akan semakin mempermalukan dirinya sendiri. Sudah cukup selama ini dia mempermalukan PSI dengan bertindak arogan," kata Elva dalam keterangan tertulis, Rabu (20/10).

Kendati begitu, dia mengharapkan proses pengadilan dapat mengakhiri perang opini di media sosial yang hanya membuat kebingungan di masyarakat. Sebab lanjut Elva, setiap kader PSI harus terus menjaga integritas.

"Semua kader PSI bahkan anggota legislatif pun harus siap diawasi dan berani bertanggung jawab," jelas dia.

Langkah Viani Legal Konstitusional

Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muslim Indonesia, Fahri Bachmid, menjelaskan tata cara hukum yang ditempuh Viani. Menurutnya, upaya Viani adalah konstitusional.

"Tentunya merupakan sebuah upaya hukum yang legal konstitusional, sehingga harus di hargai dan diterima sebagai sesuatu yg logis," katanya lewat pesan tertulis, Kamis (22/10).

Sebab, kata Fahri, UU No. 2/2011 Tentang Partai Politik telah menentukan kategori Perselisihan Partai Politik sebagaimana diatur dalam penjelasan ketentuan Pasal 32 Ayat (1) yang menentukan dengan perselisihan Partai Politik.

Hal itu meliputi antara lain: (1) perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan. (2) pelanggaran terhadap hak anggota Partai Politik; (3) pemecatan tanpa alasan yang jelas; (4) penyalahgunaan kewenangan; (5) pertanggungjawaban keuangan; dan/atau (6) keberatan terhadap keputusan Partai Politik.

"Dengan demikian maka dapat dipastikan bahwa perkara yang terjadi saat ini antara penggugat Viani Limardi dan PSI tentunya terkait dengan Perselisihan Partai Politik," ucapnya.

Fahri menuturkan, untuk menyikapi kasus Viani harus dilihat dari perspektif hukum. Hal itu sesuai dengan desain hukum sebagaimana telah diatur dalam UU No. 2 Tahun 2011 Tentang Perubahan atas UU RI No. 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik. Khususnya ketentuan Pasal 32 mengatur bahwa Perselisihan Partai Politik diselesaikan oleh internal Partai Politik sebagaimana diatur di dalam AD dan ART.

Kemudian, lanjut Fahri, diatur bahwa penyelesaian perselisihan internal Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu dilakukan oleh suatu mahkamah Partai Politik atau sebutan lain yang dibentuk oleh Partai Politik.

Selanjutnya, ketentuan lebih lanjut dirumuskan bahwa penyelesaian perselisihan internal Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus diselesaikan paling lambat 60 (enam puluh) hari.

Serta, mengenai produk putusan mahkamah diatur dan dirumuskan bahwa putusan mahkamah Partai Politik atau sebutan lain bersifat final dan mengikat secara internal dalam hal perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan.

"Pertanyaannya adalah apakah Viani Limardi sebelum melayangkan gugatan ke Pengadilan telah secara resmi menempuh seluruh tahapan dan mekanisme internal partai PSI atau tidak?" ujarnya

Fahri mengasumsikan, seandainya seluruh tahapan dan mekanisme penyelesaian perselisihan internal telah ditempuh, maka tepatlah jika saat ini gugatannya diajukan ke pengadilan sesuai domisili hukumnya.

Pasalnya, hal itu sejalan dengan rumusan norma pasal Pasal 33 UU Parpol yaitu telah mengatur bahwa dalam hal penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 tidak tercapai, penyelesaian perselisihan dilakukan melalui pengadilan negeri.

Kemudian, ditegaskan bahwa putusan pengadilan negeri adalah putusan tingkat pertama dan terakhir, dan hanya dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung. Serta perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselesaikan oleh pengadilan negeri paling lama 60 (enam puluh) hari sejak gugatan perkara terdaftar di kepaniteraan pengadilan negeri dan oleh Mahkamah Agung paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak memori kasasi terdaftar di kepaniteraan Mahkamah Agung.

"Dengan demikian, berdasarkan konstruksi yuridis terkait penyelesaian perselisihan internal tersebut, maka tentunya segala hal yang berkaitan dengan perselisihan ini idealnya diarahkan pada mekanisme penyelesaian, baik secara internal oleh Mahkamah Partai maupun melalui Pengadilan Negeri sebagai kanal penyelesaian yang legal," tuturnya.

"Berdasarkan pengalaman empirik tentang mekanisme penyelesaian di pengadilan, banyak juga yang menang melawan partai politik," kata Fahri.

Kemudian, jika memang secara hukum dapat dibuktikan bahwa pada dasarnya proses pemberhentian ataupun kebijakan partai dinilai atau secara faktual dianggap bertentangan dengan hukum, maka pengadilan dapat membatalkannya.

"Jadi hakikatnya partai politik harus lebih demokratis, dan dapat meninggalkan cara-cara yang oligarkis dalam mengambil sebuah keputusan, dan itulah fungsi lembaga peradilan yang memang difungsikan untuk menjaga spirit dan ruh demokrasi pada partai politik," pungkasnya.

Fahri Hamzah juga Pernah Gugat PKS

Gugatan kader terhadap partainya sendiri bukan kali pertama terjadi. Fahri Hamzah kala itu juga menggugat Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ke pengadilan karena tak terima atas pemecatan dirinya.

Fahri juga dicopot dari Wakil Ketua DPR RI oleh PKS. Tetapi, Fahri memenangkan gugatan tersebut dan hakim memutuskan DPP PKS harus mengembalikan status Fahri Hamzah sebagai kader dan pimpinan legislatif di Senayan.

Fahri pun memenangkan pertarungan melawan pimpinan PKS. Pengadilan Tinggi Jakarta Selatan juga memberikan sanksi imateril kepada DPP PKS yang harus membayar Rp 30 miliar kepada Fahri.


Tulis Komentar