Nasional

BEM UI dan Pengekangan Berpendapat di Negara Demokrasi (Indonesia)

Frans Josua Napitu, mahasiswa Universitas Negeri Semarang (UNNES) yang melaporkan Rektornya ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menantang debat akademis terkait tudingan terhadap dirinya yang terlibat dalam kelompok Organisasi Papua Merdeka (OPM). (CNNI

GILANGNEWS.COM - Tindakan Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) mengkritik sekaligus menjuluki Presiden Joko Widodo (Jokowi) The King of Lip Service mendapat sorotan. Banyak yang membela dan mendukung sikap BEM UI tersebut, namun tak sedikit yang mengecam.

 
 

Usai kritik tersebut dilontarkan, sejumlah pengurus BEM UI dipanggil Rektorat UI. Langkah pemanggilan ini langsung mendapat kritik dari sejumlah pihak, mulai dari politisi, akademisi, hingga Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

Mereka menilai UI tengah berupaya membatasi kebebasan berpendapat dan berekspresi mahasiswa. Selain itu, mereka juga menganggap UI berlebihan sampai meminta keterangan mahasiswanya yang kritis.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengatakan terjadi kemunduran kebebasan berpendapat dan berekspresi di Indonesia, termasuk di lingkungan perguruan tinggi.

"Memang ada kemunduran menurut saya dalam situasi kebebasan berpendapat dan berekspresi di Indonesia secara umum," kata Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara ketika dimintai keterangan, Selasa (29/6).

Beka mengatakan dalam survei yang dilakukan pihaknya beberapa waktu lalu, Komnas HAM mendapati 26 persen warga mengaku takut berpendapat dan berekspresi secara bebas. Kemunduran ini pun ia sinyalir merebak di kampus.

"Tentu saja ada [juga kemunduran di lingkup kampus]. Meskipun ini tidak nyata terlihat, tapi persoalannya seperti ada [mahasiswa] yang kritis diancam dengan DO, terus ada yang diancam dengan surat peringatan, ada yang menyurati orang tua," ujarnya.

Menurut Beka, kasus-kasus yang dialami mahasiswa itu menggambarkan upaya pengekangan kebebasan berpendapat dan berekspresi di lingkup kampus.

Beka menjelaskan kampus, khususnya perguruan tinggi negeri (PTN), dalam hal ini merupakan perpanjangan tangan negara yang seharusnya memastikan hak konstitusional setiap civitas terjamin.

Selain itu, kata Beka, kampus juga memiliki kewajiban untuk menjaga kebebasan akademik setiap mahasiswa. Menurutnya, kampus harus menjadi tempat diskursus pemikiran yang kritis tumbuh dengan baik.

Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian, Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nizam memastikan tidak ada sanksi yang diberikan kampus kepada BEM UI dalam kasus ini.

"Saya sudah mendapat klarifikasi dari teman-teman UI, menurut teman-teman tidak masalah kok," kata Nizam.

Presiden Jokowi merespons kritikan BEM UI terkait The King of Lip Service. Jokowi menyebut kritik yang dilontarkan BEM UI itu merupakan bentuk ekspresi mahasiswa.

"Ini negara demokrasi. Jadi kritik ini ya boleh-boleh saja. Universitas tidak perlu menghalangi mahasiswa untuk berekspresi. Tapi juga ingat kita ini memiliki budaya tata krama, budaya kesopansantunan," kata Jokowi.

Mantan wali kota Solo itu merasa para pengurus BEM UI sedang belajar mengekspresikan pendapat. Namun, ia mengingatkan saat ini semua pihak harus fokus dalam penanganan pandemi Covid-19.

Kasus BEM UI ini bukan kasus pertama di mana kampus diduga berupaya menekan kebebasan dan berekspresi siswa. Selama masa kepemimpinan Jokowi di periode kedua dan sepanjang Nadiem Makarim memimpin Kemendikbud, beberapa kasus serupa pun disorot publik.

 

Seperti kasus yang dialami Frans Josua Napitu, mahasiswa Universitas Negeri Semarang (Unnes) yang sempat diberi sanksi skorsing setelah melaporkan Rektor UNS Fathur Rokhman ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas dugaan anggaran kampus yang tak wajar.

 
 

Laporan tersebut disampaikan pada November 2020 dan berujung pemberian sanksi skorsing oleh kampus. Pihak Unnes berdalih sanksi skorsing bukan terkait laporan ke KPK, melainkan karena Frans terlibat dalam pergerakan simpatisan Organisasi Papua Merdeka (OPM).

"Itu tudingan, tuduhan tak berdasar kepada saya. Yang saya lakukan lalu-lalu itu adalah solidaritas terhadap kasus rasisme yang dialami saudara kita, Papua. Itu kemanusiaan," kata Frans, Rabu (18/10).

Setelah kasusnya ramai di media, sanksi skorsing dicabut oleh pihak kampus pada 28 Desember 2020. Frans bisa kembali aktif dalam kegiatan akademik.

Kemudian kejadian serupa menimpa Wahyu Krisna Aji, mahasiswa Universitas Nasional (Unas) yang menerima sanksi drop out (DO) setelah melakukan aksi menuntut keringan uang kuliah tunggal (UKT) pada Juni 2020.

Krisna menyebut para mahasiswa yang ikut aksi juga menerima intimidasi dan kekerasan fisik dari petugas keamanan kampus.

Ia juga mendapat tekanan berupa paksaan dan ancaman menandatangani surat pernyataan bahwa mereka mengaku bersalah dan tidak akan melanjutkan tuntutan.

"Teman-teman juga sempat dapat tindakan yang cukup parah. Karena barisan massa aksi diterobos oleh mobil dari pihak rektorat," kata Krisna beberapa waktu lalu.

Akibat demo tersebut Krisna bersama dua mahasiswa lain menerima surat keputusan DO dari kampus. Lalu tiga mahasiswa diskorsing dan sembilan mahasiswa mendapat surat peringatan keras dari kampus.

Merespon ramainya kasus ini di media, Rektor Unas El Amry Bermawi Putera mengatakan beberapa mahasiswa merusak fasilitas dan telah mencemarkan nama baik kampus. Ia juga melaporkan beberapa mahasiswanya ke Polres Jakarta Selatan.

"Sehingga sangat wajar apabila tindakan tidak terpuji ini kami laporkan ke pihak berwenang. Sebagai warga negara yang patuh hukum dan aturan perundang-undangan, kita wajib untuk menghormati jalannya proses hukum yang berlaku," kata El Amry.

Kemendikbudristek tak banyak ikut campur menanggapi polemik ini. Direktur Pembelajaran dan Kemahasiswaan Pendidikan Tinggi Kemendikbudristek Aris Junaidi mengatakan perkara itu perlu diselesaikan kampus secara internal.

"Untuk mahasiswa Unas yang demo kemudian didrop out dan lain-lain, memang itu semua otonomi kampus masing-masing," kata Aris beberapa waktu lalu.

 


Tulis Komentar